.

.

Minggu, 01 Juni 2014

Yth. Bapak Calon Presiden

Boleh saya bercerita, Pak?

Siang ini saya mendapatkan cerita yang memilukan. Iya, sangat memilukan. Seorang anak 14 tahun meninggal di pangkuan ibunya. Saya sama sekali tidak menyalahkan takdir, maut bahkan sudah ditentukan sebelum anak tersebut lahir. Yang memilukan adalah menjelang saat-saat terakhirnya. Ibunya sendiri yang sesenggukan bercerita ke ibu saya. Sudah 5 hari anak itu diare. Hari kelima puncaknya, saat dia bahkan buang air di gendongan Bapaknya. Susah payah Bapaknya membawa ke Rumah Sakit Pemerintah terdekat. Mereka dari keluarga yang kurang mampu memang.

Lalu apa yang didapat? Bukan penanganan Dokter, bahkan bukan pertolongan pertama. Orang tuanya hanya mendapatkan raut muka jijik dari para susternya. Memegang anak semata wayang mereka pun tampak enggan. Jangankan infus, jarum suntik pun tak digunakan. Mereka hanya memeriksa nadi, dan bahkan (saya ulangi) itu pun dengan raut muka jijik karena diare si anak. Lalu? Dengan enteng pihak Rumah Sakit meminta administrasi Rp 500.000 kemudian si anak lagi-lagi ditelantarkan. Saya rasa karena terlalu lemah dengan diare yang terus menerus, dan tidak adanya penanganan dari pihak RS, tak berapa lama hanya dengan kode, si anak meminta dipangku ibunya.

Di pangkuan itulah, dia pergi untuk selamanya, bahkan sebelum (lagi-lagi saya ulangi) selang infus disuntikkan di tubuhnya. Yang lebih miris adalah ketika si ibu bilang, ‘kami memang dari keluarga tidak mampu bu, tapi bukan berarti kami tidak akan berusaha mencari biaya RSnya. Kami butuh penanganan, bila perlu kami bisa pinjam sana sini. Dia anak semata wayang kami. Tapi tidak ada omongan sama sekali dari pihak RSnya. Saya tidak ingin menyalahkan, sudah takdirnya anak saya meninggal, tapi tetap saja rasanya belum maksimal di saat terakhirnya’.

Tahun lalu persis di bulan ini, saya menyaksikan sendiri bagaimana masih-jauh-dari-kata-bagus pelayanan sebuah Rumah Sakit Pemerintah di Jakarta. Kami kehilangan seorang yang sangat kami sayangi. Saat masa-masa kritis, dalam 2 hari, hanya 1 kali dokter memeriksanya. Bayangkan Pak, di masa-masa KRITIS, TIDAK ADA DOKTER yang berjaga. Bahkan saat kami kebingungan mencari suster karena sesak nafasnya, yang didapat hanyalah perintah ‘suruh banyak-banyak istighfar saja!’. Lebih lagi saat darahnya naik ke selang infus karena cairan infusnya habis. Padahal jauh sebelumnya sudah kami panggil suster yang berjaga untuk menggantikan infusnya. Saat itu, yang saya rasa sama seperti yang ibu itu rasakan, ‘rasanya belum maksimal di saat-saat terakhirnya’.

Sekali lagi, saya tidak pernah mengingkari maut -memang sudah waktunya-. Tapi bukankah wajar jika kita ingin memberi yang terbaik di saat-saat terakhir seseorang yang kita sayangi? Bukankah ada rasa lega tersendiri? Jauh beda bila situasinya seperti dua cerita di atas. Saya tahu pak, para Dokter sudah disumpah atas jabatannya. Saya juga yakin sangat besar rasa kemanusiaan yang ditanamkan di jiwa para suster. Saya pernah aktif di PMR, saya ingat sekali bagaimana beratnya latihan rutin, mempelajari pertolongan pertama, diciptakan sedemikian rupa rasa ‘kesamaan’, dan ditanamkan sekokoh mungkin prinsip utama ‘kemanusiaan’. Saya rasa, jika di organisasi sosial saja sudah begitu besar ditanamkan nilai-nilai kemanusiaannya, apalagi di bidang profesi medisnya. Tapi yang saya tahu, sistem sangat berpengaruh atas SDM di dalamnya. Akan sia-sia jika keinginan baik (dari SDMnya) terkendala dengan sistem (RS) yang salah. Apakah memang ada masalah dengan sistem dan SOP di RS pemerintah kita pak?

Saya rasa rakyat tidak hanya butuh semacam blusukan atau peng-artis-an Presidennya di berbagai media. Rakyat juga tidak ingin janji yang muluk-muluk, tidak minta yang macam-macam. Percuma jika ekonomi mengglobal, tapi kesejahteraan rakyatnya masih jauh dari kata standar.

Saya berharap, jika Bapak terpilih nanti, tolong, pilihlah pula para wakil yang BIJAK, terutama untuk amanah Menteri Kesehatan. Kita tidak perlu seorang menteri yang susah payah memikirkan bagaimana mambagikan kondom secara gratis demi (katanya) menghindari perluasan AIDS. Kita juga tidak ingin terlalu peduli dengan menteri yang menolak sertifikasi halal pada produk farmasi. Kita hanya butuh perbaikan sistem. Kita lebih perlu menteri yang dekat dengan kebutuhan kesehatan rakyat kecil. Bekerja sama dengan Pemda mengontrol bagaimana terfungsinya askes/BPJS dengan baik. Percuma jika setiap rakyat ekonomi menengah ke bawah terdaftar di BPJS, tapi ketika digunakan untuk rawat inap, masih juga tidak berfungsi, masih juga tidak dilayani dengan baik, masih juga harus membayar biaya selangit. Atau pembenahan RS Pemerintah kita, apapun itu yang bisa menjamin pelayanan terhadap pasien terutama dalam kondisi mendesak.

Maaf Pak, jika tulisan ini mengganggu. Jika terlalu sepele hal ini untuk ditangani oleh seorang Calon Presiden langsung. Tapi, ini hal penting karena menyangkut nyawa. Setidaknya saya tahu, masih banyak yang menghargai nyawa sesama di Negara ini.

Salam,
Rakyatmu

Penulis : Nurbarida Intan
Editor : SCE

http://eramadina.com/yth-bapak-calon-presiden/

0 komentar:

Posting Komentar

Iklan

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites