Siang ini saya mendapatkan cerita yang memilukan. Iya, sangat
memilukan. Seorang anak 14 tahun meninggal di pangkuan ibunya. Saya sama
sekali tidak menyalahkan takdir, maut bahkan sudah ditentukan sebelum
anak tersebut lahir. Yang memilukan adalah menjelang saat-saat
terakhirnya. Ibunya sendiri yang sesenggukan bercerita ke ibu saya.
Sudah 5 hari anak itu diare. Hari kelima puncaknya, saat dia bahkan
buang air di gendongan Bapaknya. Susah payah Bapaknya membawa ke Rumah
Sakit Pemerintah terdekat. Mereka dari keluarga yang kurang mampu
memang.
Lalu apa yang didapat? Bukan penanganan Dokter, bahkan bukan
pertolongan pertama. Orang tuanya hanya mendapatkan raut muka jijik dari
para susternya. Memegang anak semata wayang mereka pun tampak enggan.
Jangankan infus, jarum suntik pun tak digunakan. Mereka hanya memeriksa
nadi, dan bahkan (saya ulangi) itu pun dengan raut muka jijik karena
diare si anak. Lalu? Dengan enteng pihak Rumah Sakit meminta
administrasi Rp 500.000 kemudian si anak lagi-lagi ditelantarkan. Saya
rasa karena terlalu lemah dengan diare yang terus menerus, dan tidak
adanya penanganan dari pihak RS, tak berapa lama hanya dengan kode, si
anak meminta dipangku ibunya.
Di pangkuan itulah, dia pergi untuk selamanya, bahkan sebelum
(lagi-lagi saya ulangi) selang infus disuntikkan di tubuhnya. Yang lebih
miris adalah ketika si ibu bilang, ‘kami memang dari keluarga tidak
mampu bu, tapi bukan berarti kami tidak akan berusaha mencari biaya
RSnya. Kami butuh penanganan, bila perlu kami bisa pinjam sana sini. Dia
anak semata wayang kami. Tapi tidak ada omongan sama sekali dari pihak
RSnya. Saya tidak ingin menyalahkan, sudah takdirnya anak saya
meninggal, tapi tetap saja rasanya belum maksimal di saat terakhirnya’.
Tahun lalu persis di bulan ini, saya menyaksikan sendiri bagaimana
masih-jauh-dari-kata-bagus pelayanan sebuah Rumah Sakit Pemerintah di
Jakarta. Kami kehilangan seorang yang sangat kami sayangi. Saat
masa-masa kritis, dalam 2 hari, hanya 1 kali dokter memeriksanya.
Bayangkan Pak, di masa-masa KRITIS, TIDAK ADA DOKTER yang berjaga.
Bahkan saat kami kebingungan mencari suster karena sesak nafasnya, yang
didapat hanyalah perintah ‘suruh banyak-banyak istighfar saja!’. Lebih
lagi saat darahnya naik ke selang infus karena cairan infusnya habis.
Padahal jauh sebelumnya sudah kami panggil suster yang berjaga untuk
menggantikan infusnya. Saat itu, yang saya rasa sama seperti yang ibu
itu rasakan, ‘rasanya belum maksimal di saat-saat terakhirnya’.
Sekali lagi, saya tidak pernah mengingkari maut -memang sudah
waktunya-. Tapi bukankah wajar jika kita ingin memberi yang terbaik di
saat-saat terakhir seseorang yang kita sayangi? Bukankah ada rasa lega
tersendiri? Jauh beda bila situasinya seperti dua cerita di atas. Saya
tahu pak, para Dokter sudah disumpah atas jabatannya. Saya juga yakin
sangat besar rasa kemanusiaan yang ditanamkan di jiwa para suster. Saya
pernah aktif di PMR, saya ingat sekali bagaimana beratnya latihan rutin,
mempelajari pertolongan pertama, diciptakan sedemikian rupa rasa
‘kesamaan’, dan ditanamkan sekokoh mungkin prinsip utama ‘kemanusiaan’.
Saya rasa, jika di organisasi sosial saja sudah begitu besar ditanamkan
nilai-nilai kemanusiaannya, apalagi di bidang profesi medisnya. Tapi
yang saya tahu, sistem sangat berpengaruh atas SDM di dalamnya. Akan
sia-sia jika keinginan baik (dari SDMnya) terkendala dengan sistem (RS)
yang salah. Apakah memang ada masalah dengan sistem dan SOP di RS
pemerintah kita pak?
Saya rasa rakyat tidak hanya butuh semacam blusukan atau
peng-artis-an Presidennya di berbagai media. Rakyat juga tidak ingin
janji yang muluk-muluk, tidak minta yang macam-macam. Percuma jika
ekonomi mengglobal, tapi kesejahteraan rakyatnya masih jauh dari kata
standar.
Saya berharap, jika Bapak terpilih nanti, tolong, pilihlah pula para
wakil yang BIJAK, terutama untuk amanah Menteri Kesehatan. Kita tidak
perlu seorang menteri yang susah payah memikirkan bagaimana mambagikan
kondom secara gratis demi (katanya) menghindari perluasan AIDS. Kita
juga tidak ingin terlalu peduli dengan menteri yang menolak sertifikasi
halal pada produk farmasi. Kita hanya butuh perbaikan sistem. Kita lebih
perlu menteri yang dekat dengan kebutuhan kesehatan rakyat kecil.
Bekerja sama dengan Pemda mengontrol bagaimana terfungsinya askes/BPJS
dengan baik. Percuma jika setiap rakyat ekonomi menengah ke bawah
terdaftar di BPJS, tapi ketika digunakan untuk rawat inap, masih juga
tidak berfungsi, masih juga tidak dilayani dengan baik, masih juga harus
membayar biaya selangit. Atau pembenahan RS Pemerintah kita, apapun itu
yang bisa menjamin pelayanan terhadap pasien terutama dalam kondisi
mendesak.
Maaf Pak, jika tulisan ini mengganggu. Jika terlalu sepele hal ini
untuk ditangani oleh seorang Calon Presiden langsung. Tapi, ini hal
penting karena menyangkut nyawa. Setidaknya saya tahu, masih banyak yang
menghargai nyawa sesama di Negara ini.
Salam,
Rakyatmu
Penulis : Nurbarida Intan
Editor : SCE
http://eramadina.com/yth-bapak-calon-presiden/
0 komentar:
Posting Komentar