.

.

Muhammad : 7

Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik [Al-Imran : 110]

As-Shof : 4

Sesungguhnya Allah menyukai orang yang berperang dijalan-Nya dalam barisan yang teratur seakan-akan mereka seperti suatu bangunan yang tersusun kokoh.[As-Shof : 4]

Bergerak atau Tergantikan

“Teruslah bergerak, hingga kelelahan itu lelah mengikutimu.Teruslah berlari, hingga kebosanan itu bosan mengejarmu.Teruslah berjalan, hingga keletihan itu letih bersamamu.Teruslah bertahan, hingga kefuturan itu futur menyertaimu.Tetaplah berjaga, hingga kelesuan itu lesu menemanimu.”

Hidup Mulia atau Mati Syahid

Ketika Kau Lahir di Dunia dengan Tangisan, Dunia Gembira Riang Menyambutmu. Ketika Kau Gugur sebagai Pahlawan, Dunia Mengangisimu, Namun Ruhmu gembira menyambut Syurga-Nya

Kita adalah Penyeru

Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik [Al-Imran : 110]

Kamis, 22 Desember 2011

Namaku Diambil Dari Seorang Sahabat Rasululloh Abu Ubaidah Bin Jarrah - Pemegang Amanat Umat Dan Rasulullah

Rasulullah saw pernah bersabda yang maksudnya, "Setiap umat mempunyai sumber kepercayaan, sumber kepercayaan umat ini adalah Abu Ubaidah bin Jarrah." Itulah penghargaan bintang mahaputra yang diterima oleh Abu Ubaidah dari Rasulullah saw. Penghargaan yang tidak diberikan Rasulullah kepada sahabat yang lainnya. Tapi ini bukan berarti, bahwa Rasulullah saw tidak percaya kepada sahabat yang lainnya. Memang kalau dilihat dari kenyataan yang ada Abu Ubaidah layak mendapatkan gelar seperti itu. Sekalipun ia tidak mengharapkannya. Dari sosok tubuhnya yang tinggi, kurus tapi bersih, tampak disana tersimpan sifat-sifat mulia yang tidak dimiliki orang lain. Jujur, tawadu', pemalu itulah diantara sifat yang paling menonjol dari Abu 'Ubaidah bin Jarrah r.a. Muhammad bin Ja'far pernah bercerita, suatu ketika datang rombongan Nasrani Najran menemui Rasulullah saw. "Ya Abalqasim," kata utusan itu, "Datangkanlah utusanmu ke negeri kami untuk menyelesaikan permasalahan yang sedang kami hadapi. Kami betul-betul ridha dan yakin terhadap kaum muslimin." Rasulullah menyanggupinya dan menjanjikan kepada mereka seraya berkata, "Esok hari aku akan mengutus bersama kalian seorang yang benar-benar terpercaya, benar-benar terpercaya, benar-benar terpercaya." Rasululah menyebut "amin" (terpercaya) sampai diulanginya tiga kali.

Tak lama kemudian beritapun tersebar ditengah-tengah para sahabat ra. Masing-masing ingin ditunjuk oleh Rasulullah saw menjadi utusan.
Umar ra mengungkapkan, "Aku benar-benar mengharap agar aku ditunjuk Rasulullah saw untuk menduduki jabatan itu. Aku sengaja mengangkat kepalaku agar beliau bisa melihatku dan mengutusku untuk menduduki jabatan yang diamanatkannya. Rasul masih tetap mencari seseorang, sehingga beliau melihat Abu Ubaidah dan berkata, "Wahai Abu Ubaidah, pergilah engkau bersama-sama dengan penduduk Najran. Jalankan hukum-hukum dengan penuh kebenaran terhadap segala apa yang mereka perselisihkan." Itulah mulianya ahklak Abu Ubaidah bin Jarrah.
Masuk kedalam shaff da'wah Islamiyah.

Setelah Abu Bakar masuk Islam, dia senantiasa mengajak kawan-kawan dekatnya untuk mengikuti jejaknya. Keislaman beliau adalah atas ajakan Abu Bakar. Suatu ketika ia sadar dan memahami apa yang dimaksudkan Abu Bakar terhadap dirinya. Akhirnya dia berangkat bersama Abdurrahman bin 'Auf, Ustman bin Maz'un dan Arqam bin Abi Arqam untuk menemui Rasulullah saw. Di depan Rasulullah saw mereka sama-sama mengucapkan kalimat syahadah.


Pengorbanan

Setelah masuknya Abu Ubaidah dalam Islam. Ia sadar betul bahwa seluruh apa yang dia miliki harus sepenuhnya diberikan untuk Islam. Bukan setengah atau pun sebahagiannya. Harta, tenaga dan raga beliau persembahkan untuk Islam. Kalau Islam meminta hartanya akan dia infakkan, kalau tenaganya yang dibutuhkan, akan diberikan, bahkan kalaupun nyawa yang akan di minta itupun akan dikorbankan. Dia adalah seorang pemuda yang gagah berani yang sangat ditakuti oleh musuh-musuhnya dan sulit sekali untuk di kalahkan.

Setiap musuh mendekatinya pasti lehernya dipenggal. Itulah keistimewaan sahabat yang satu ini, hasil dari binaan madrasah Rasulullah saw. Ini bisa terlihat di dalam perjuangannya membela Islam. Dimana saat terjadinya perang Badar, Abu Ubaidah tampil kedepan, memerangi tentara musyrikin. Tatkala Abu Ubaidah lagi berhadapan dengan musuh, tiba-tiba ia dikejutkan oleh seorang lelaki yang mengasuhnya sejak kecil. Ayah kandungnya yang masih musyrik. Sebelumnya dia sudah berusaha agar jangan ketemu bapaknya ditengah-tengah kancah peperangan.

Tapi apa hendak dikata, peperangan saat itu bukanlah peperangan antara Qabilah atau peperangan yang hanya untuk mempertahankan status quo. Akan tetapi adalah peperangan antara hizbullah(tentara Allah) dengan hizb syaithan (tentara musuh), peperangan antara yang haq dengan bathil, yang tidak mungkin disatukan selamamatahari masih terbit dari sebelah timur. Akhirnya? dengan keimanan yang menyala-nyala terjadilah perlawanan antara sang anak dengan ayah, yang berakhir dengan gugurnya ayah kandung di depan matanya sendiri.

Setelah peristiwa tersebut Allah menurunkan firmannya:

"Kamu tidak akan mendapati sesuatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara atau pun keluarga mereka. Mereka itulah orang-orang yang Allah telah menanamkan keimanan dalam hati mereka dan menguatkan mereka dengan pertolongan yang datang daripada-Nya. Dan dimasukkan-Nya mereka ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya. Allah rida terhadap mereka dan mereka pun merasa puas terhadap (limpahan rahmat)-Nya. Mereka itulah golongan Allah. Ketahuilah, bahwa sesungguhnya golongan Allah itulah golongan yang beruntung." (QS Al Mujadilah: 22).

Itulah Abu Ubaidah bin Jarrah, yang betul-betul menyerahkan hidup beliau sepenuhnya untuk Islam. Dia tidak menghiraukan sanak famili ataupun kaum kerabat, kalau Islam yang berbicara tidak bisa ditawar-tawar lagi, yang bathil tidak mungkin didirikan diatas yang haq ataupun sebalikn
Di saat peperangan lagi berkecamuk, Rasulullah saw sempat terjatuh sehingga gigi depannya retak, keningnya luka, pipinya kena dua mata rantai perisai. Melihat keadaan seperti itu, Abu Bakar kasihan dan ingin mencabutnya, tapi ia dicegah Abu Ubaidah bin Jarrah. "Biarkan itu bagian saya," pintanya. Abu Ubaidah tahu kalau ini di cabut dengan tangan Rasulullah pasti kesakitan, akhirnya dia mencoba mencabutnya dengan gigi depannya. Disaat mata rantai pertama tercabut, giginya masih utuh dan kuat, namun ketika mencabut mata rantai kedua giginya pun ikut tercabut juga. Subhanallah. Saat itu Abu Bakar berkata, "Sebaik-baik gigi yang terputus, itulah gigi Abu Ubaidah bin Jarrah."


Perjuangan

Jabir bin Abdullah pernah bercerita, "Suatu ketika Rasullah saw.mengutus kami dalam suatu peperangan yang dipimpin oleh Abu Ubaidah bin Jarrah. Kami hanya dibekali sekarung korma untuk tiga ratus orang. Padahal perjalanan sungguh jauh dan melewati padang pasir yang luas dan tandus. Di tengah-tengah perjalanan, disaat tentara sudah mulai lapar, Abu Ubaidah membagi-bagikan makanan untuk satu orang satu genggam korma. Namun disaat bekal sudah mulai habis Abu Ubaidah membagi-baginya dengan satu korma untuk satu orang.

Korma yang satu itulah diisap-isap airnya sehingga menambah semangat kami dalam melanjutkan perjalanan. Tak lama kemudian bekalpun habis, badan terasa letih, capek dan lapar. Namun perjalanan masih jauh. Akhirnya kamipun memilih jalan dekat pantai. Tiba-tiba disaat kami betul-betul lapar, kami memperdapati ikan besar yang sudah mati, mula-mula Abu Ubaidah melarang kami untuk memakannya. Akan tetapi, karena keadaan sudah memaksa akhirnya kamipun memakannya, setelah itu kami melanjutkan perjalanan."

Perjuangan Abu Ubaidah bin Jarrah nampak juga kita lihat dari perkataan Umar bin Khattab. Pada suatu kesempatan Umar bin Khattab mengajukan pertanyaan kepada para sahabat, "Tunjukkan kepada saya cita-cita tertinggi kalian." Salah seorang dari mereka mengacungkan tangan dan berkata, "Wahai Amirulmukminin sekiranya rumah ini penuh dengan emas, akan saya infakkan seluruhnya untuk jalan Allah."

Umarpun mengulangi pertanyaannya, "Apa masih ada yang lebih baik dari itu?", lantas sahabat yang lainpun menjawab, "Wahai Amirulmukminin sekiranya rumah ini dipenuhi dengan intan, emas dan permata, niscaya akan saya infakkan seluruhnya untuk Allah." Umar bin Khattab kembali bertanya dengan lafadh yang sama. Merekapun serentak menjawab, "Wahai Amirulmukminin kami tidak tahu lagi apa yang terbaik dari itu." Umar bin Khathab kemudian menjelaskan, "Cita-cita yang terbaik adalah, seandainya ruangan ini Allah penuhi dengan pejuang muslim seperti Abu Ubaidah bin Jarrah yang jujur, adil dan bijaksana."
Menjelang wafatnya, Khalifah Umar pernah berkata, "Kalau Abu Ubaidah masih hidup maka aku akan menunjuknya sebagai khalifah penggantiku. Dan bila kelak Allah swt bertanya tentang apa sebabnya, maka aku akan menjawabnya, 'Aku memilih dia karena dia seorang pemegang amanat umat dan pemegang amanat Rasulullah.'"

Demikianlah sosok kepribadian sahabat Rasululloh SAW. yang satu ini. Ia tidak pernah mundur dalam memperjuangkan kesucian Islam. Tenaga, harta, waktu, dan jiwanya ia korbankan demi Islam dan kejayaan umatnya.
Radhiyallahu 'anhu wardhahu.

Itulah sebuah kisah dari Sahabat Rasululloh yaitu Abu Ubaidah Bin Jarrah...

SUBHANALLOH...

Terimakasih Umi dan Abi, telah memberi namaku yang mempunyai makna sangat besar.

Semoga Aku dapat menjadi seperti yang Abi dan Umi inginkan...
"Pemegang Amanat Umat"

Aku Cinta Umi dan Abiku...

Semoga Alloh membalas mu dengan Syurga-Nya...

Rahasia Kesuksesan Mahasiswa IPB

Bismillah. . . . .
Mungkin mayoritas mahasiswa sudah tau apa salah satu rahasia orang-orang sukses di IPB, orang-orang yang menjadi legenda di Kampus Hijau tercinta ini,. Aku sendiri menyadari hal ini dari hasil pengamatan dan proses komparasi antar mahasiswa-mahasiswa “terkenal” di IPB, dan setelah ku simpulkan. . . . Subhanallah. . . . The Power is REAL. . . Sebuah kekuatan dahsyat yang ditanamkan kepada mahasiswa sejak pertama kali menginjakkan kaki di Bogor, kekuatan itu tersalurkan dalam sebuah forum islam yang terkenal dengan sebutan Mentoring,. Ya, mentoring-lah yang menurutku menjadi salah satu rahasia kesuksesan. . . Tapi bagaimana bisa?? Yuk kita lihat!!
Tak salah jika IPB mendapat julukan Institut Pesantren Bogor, karena memang suasana keislamannya kental banget,. Dimulai dari SDM-nya, sebagian besar mahasiswanya merupakan kaum yang melek agama, bahkan banyak juga yang basic pendidikan islamnya kuat, misal lulusan pondok pesantren, lulusan SMA islam, dsb,. Dengan kualitas SDM yang demikian otomatis akan tercipta kultur yang islami di dalam kehidupan kampus, nilai-nilai islam benar-benar dijunjung tinggi, bahkan mendapatkan kedudukan tertinggi,. Di sini tak ada lagi cemoohan semacam, “ah sok alim loe!” kenapa? Karena semua mahasiswanya alim-alim, justru mahasiswa yang nggak alim yang pasti akan minder, subhanallah sekali kan?? Beda banget dengan jamanQ di SMA. . . ==”
Lingkungan kampus yang bernuansa islam, tak lepas dari upaya syiar dan dakwah dari LDK Al-Hurriyah (Lembaga Dakwah Kampus) yang bermarkas di Masjid Agung Al-Hurriyah, masjid kebanggaan IPB yang merupakan masjid kampus terbesar ke-2 di Indonesia,. Aku akui, dakwah di kampus ini gencar banget, nggak ada hari tanpa dakwah!! LDK ini berjalan sangat efektif dan menghasilkan output yang fantastis,. Banyak banget kegiatan islam yang diadakan, benar-benar seperti “bom dakwah” bagi mahasiswa baru, mereka pasti akan kaget merasakan kultur ini,. Bagai gayung bersambut, acara-acara LDK Al-Hurr mendapatkan antusiasme yang sangat tinggi!!
Selain pengaruh di atas, faktor adanya asrama TPB juga sangat menginisiasi,. Di Asrama, benar-banar menjadi kumpulan orang-orang alim, agenda asrama disusun sedemikian rupa sehingga mahasiswa baru “dipaksa” beradaptasi menjadi muslim yang lebih taat daripada keadaan sewaktu masih di rumah atau kampung halaman,. Percaya deh, begitu lulus dari asrama, pasti ada peningkatan kualitas dan kuantitas ibadah kita, misal yang tadinya jarang baca Al-Qur’an, sekarang mulai rutin tiap hari,. Yang tadinya gag pernah tahajud-an, searang jadi lebih sering, dsb. . . .
Nah, salah satu kegiatan yang diadakan oleh LDK Al-Hurriyah adalah Mentoring,. Tau apa itu mentoring?? Mentoring merupakan kegiatan pendidikan dan pembinaan agama Islam dalam bentuk pengajian kelompok kecil yang diselenggarakan rutin tiap pekan dan berkelanjutan. Tiap kelompok pengajian terdiri atas 3-10 orang, dengan dibimbing oleh seorang pembina. Kegiatan sering disebut juga dengan Dakwah Sistem Langsung (DSL). Bentuk kegiatan dalam kelompoknya sangat fleksibel dan bervariasi, mulai dari kajian bareng, jogging bareng, outbond, sampai nonton bareng,.
Di dalam kelompok kecil ini, selain mendapat segudang ilmu baru tentang islam, kita juga dilatih untuk berdiskusi dan menyampaikan pendapat,. Tak pernah terlewatkan, selalu ada motivasi-motivasi mujarab yang bisa membakar semangat yang menggelora di dalam dada anak muda untuk selalu berkarya dan berjuang meraih yang terbaik,. So, tak heran setelah mengikuti mentoring ini banyak mahasiswa yang kepribadiannya berubah drastis, yang tadinya pendiam jadi aktif, yang tadinya malas jadi super rajin,. Hal lain yang bisa didapat dari mentoring ini adalah sharing pengalaman, cerita sukses, dan nasihat-nasihat yang sangat membantu,. Asal tau aja, mentor atau pembimbingnya adalah mahasiswa-mahasiswa yang prestatif, ya minimal terkenal oleh banyak orang, dan tentunya berkepribadian semi-ustadz (istilah baru dari penulis),. Semua informasi positif, baik akademik maupun non-akademik bebas dipertukarkarkan di sini, so anggota mentoringnya nggak bakal jadi mahasiswa cupu, karena selalu up to date,. Hebat kan???
Ternyata gag cuma mahasiswanya, para dosen juga mayoritas punya latar belakang keagamaan yang kuat,. Di samping dosen Pend. Agama, dosen-dosen lain pun banyak yang biasa mengisi khutbah di Masjid Al-Hurriyah tiap jumat, artinya jumlah dosen yang peduli dengan dakwah islam cukup banyak, bahkan saya tadi berani bilang “mayoritas”, itu lah uniknya IPB,.
Dari pengamatanku sendiri, ada beberapa karakter yang melekat kuat pada diri seorang alumni mentoring ini, diantaranya :
  1. Visioner, selalu mempunyai targetan yang jelas, berorientasi ke depan,.
  2. Optimisme memuncak, baginya tak ada hal yang tak mungkin dicapai olehnya, walaupun saat itu banyak orang yang meragukan kapasitasnya,.
  3. Sangat efisien dalam memanfaatkan waktu, tak banyak mahasiswa yang bisa seperti ini, mengerjakan banyak agenda atau tugas dengan waktu yang singkat, walaupun kondisinya under-pressure,.
  4. Cinta masjid, ya jelaslah, masjid sudah menjadi seperti rumah sendiri, tempat nongkrongnya sehari-hari dalam waktu senggang,. Sholat apapun seringnya di masjid Al-Hurr, walaupun itu jauh dari tempat kuliah,. Ngaji, belajar, ngerjain laporan, ngobrol, semuanya kebanyakan dilakukan di masjid,. Tak heran Masjid Al-Hurr selalu ramai di setiap waktu,.
  5. Kebiasaannya mencerminkan dakwah,. Mengucapkan salam ketika bertemu, pakaian rapi, “ana” “antum”, menggunakan kata kerja Arab, dan masih banyak lagi,. Jika disuruh memberi ceramah?? Wah segudang materi dia punya untuk disampaikan ke jamaahnya. . . . :D
  6. Aktif berorganisasi, bener2 komitmen untuk organisasi yang diikutinya, kontribusinya luar biasa,.
  7. Kenal banyak orang,. Antara orang-orang ini kebanyakan saling kenal, so pas di masjid tuh sering terjadi sapa-menyapa dan jabat tangan untuk sekedar tanya kabar,.
  8. Solutif,. Di dalam kehidupan sehari-hari, orang-orang ini selalu bisa memecahkan permasalahan dengan tepat, susah banget lho, kebanyakan dari kita kan kalo ketemu masalah langsung down,.
  9. Mau untuk berbagi,. Jika dimintai nasihat atau saran, pasti dijawab dengan panjang lebar, dan kita sebagai pendengar pasti akan merasa puas dengan jawaban itu, ckckckck,.
  10. Berwibawa,. Ini nih yang bikin keren,. Cara jalan mereka aja udah beda, sepertinya tiap langkah mereka gag ada yang digunakan untuk sia-sia,.
Itulah beberapa yang aku ketahui karakter alumni mentoring yang sukses,. Perlu diketahui juga, bahwa janji Allah berlaku mutlak dan nyata terlihat pada orang-orang ini,. Semua orang tau, kalo kita dekat dengan Allah, maka Allah akan bermurah hati pada kita,. Karena orang-orang ini sangat dekat dengan Allah, keberuntungan dan kesuksesan selalu menyertai langkah mereka, makin hari makin banyak hal luar biasa yang mereka lakukan, benar-banar deh, Allahu Akbar!!!
Jangan salah, aku menulis artikel ini bukannya tanpa bukti, berikut aku sebutkan sejumlah orang-orang yang menjadi objek komparasi pengamatan :
Para Ketua BEM-BEM di IPB, Ketua UKM Forces,.
Lalu Presiden Mahasiswa tahun 2009 Ach. Firman Wahyudi, beliau malah menjadi salah satu mentor,. Achmad Fachrudin, ketua Panitia MPKMB (OSPEK) IPB 2010, juga sebagai mentor,.
Ketua angkatan 46 Fakultas Teknologi Pertanian, Gugi Yogaswara, yang juga mentor, beliau juga anggota Asrama PPSDMS Nurul Fikri (program beasiswa asrama yang hanya ada di 5 PTN terbaik Indonesia).
Mentor saya, Kak Bowo, mantan calon Ketua BEM F-MIPA,.
Mentor saya di Mahasiswa Prestasi, kak Hendra Prasetya, beliau dinobatkan menjadi mahasiswa Berprestasi IPB tahun 2010, dan menyabet gelar juara 2 Mapres nasional,.
Kak Randi Swandaru, namanya bener2 melegenda di IPB, karena tahun 2010 berhasil membawa medali Emas PIMNAS di Malang,.
Kak Danang Ambar Prabowo, beliau merupakan “The Best of The Legends”-nya IPB, juara 1 Mapres nasional tahun 2006, membuat sebuah video inspiratif dan spektakuler tentang keajaiban mimpi,.
Dan yang pasti, kebanyakan mahasiswa yang “go International” adalah alumni mentoring Al-Hurriyah. . . Subhanallah. . . .
Dari uraian di atas, di otakku timbul suatu pemikiran, bahwa kesuksesan mahasiswa IPB bukan lahir di gedung-gedung kuliahnya yang megah, tapi di Masjid Al-Hurriyah yang sejahtera ini. . . Allahu Akbar!!!
Sekian. . . . Semoga menginspirasi. . . . Ka-Chaw!!!
Bogor, 26 Juli 2011

Kamis, 01 Desember 2011

Aktivis Merindukan Rumah.. ? Sudahkah Birul Walidain... ?

"Dimana rumahmu Nak?"

Orang bilang anakku seorang aktivis . Kata mereka namanya tersohor dikampusnya sana . Orang bilang anakku seorang aktivis.Dengan segudang kesibukan yang disebutnya amanah umat . Orang bilang anakku seorang aktivis .Tapi bolehkah aku sampaikan padamu nak ? Ibu bilang engkau hanya seorang putra kecil ibu yang lugu.
Anakku,sejak mereka bilang engkau seorang aktivis ibu kembali mematut diri menjadi ibu seorang aktivis .Dengan segala kesibukkanmu,ibu berusaha mengerti betapa engkau ingin agar waktumu terisi dengan segala yang bermanfaat.Ibu sungguh mengerti itu nak, tapi apakah menghabiskan waktu dengan ibumu ini adalah sesuatu yang sia-sia nak ? Sungguh setengah dari umur ibu telah ibu habiskan untuk membesarkan dan menghabiskan waktu bersamamu nak,tanpa pernah ibu berfikir bahwa itu adalah waktu yang sia-sia.
Anakku,kita memang berada disatu atap nak,di atap yang sama saat dulu engkau bermanja dengan ibumu ini .Tapi kini dimanakah rumahmu nak?ibu tak lagi melihat jiwamu di rumah ini .Sepanjang hari ibu tunggu kehadiranmu dirumah,dengan penuh doa agar Allah senantiasa menjagamu .Larut malam engkau kembali dengan wajah kusut.Mungkin tawamu telah habis hari ini,tapi ibu berharap engkau sudi mengukir senyum untuk ibu yang begitu merindukanmu . Ah,lagi-lagi ibu terpaksa harus mengerti,bahwa engkau begitu lelah dengan segala aktivitasmu hingga tak mampu lagi tersenyum untuk ibu . Atau jangankan untuk tersenyum,sekedar untuk mengalihkan pandangan pada ibumu saja engkau engkau,katamu engkau sedang sibuk mengejar deadline. Padahal,andai kau tahu nak,ibu ingin sekali mendengar segala kegiatanmu hari ini,memastikan engkau baik-baik saja,memberi sedikit nasehat yang ibu yakin engkau pasti lebih tahu.Ibu memang bukan aktivis sekaliber engkau nak,tapi bukankah aku ini ibumu ? yang 9 bulan waktumu engkau habiskan didalam rahimku..
Anakku, ibu mendengar engkau sedang begitu sibuk nak. Nampaknya engkau begitu mengkhawatirkan nasib organisasimu,engkau mengatur segala strategi untuk mengkader anggotamu . Engkau nampak amat peduli dengan semua itu,ibu bangga padamu .Namun,sebagian hati ibu mulai bertanya nak,kapan terakhir engkau menanyakan kabar ibumu ini nak ? Apakah engkau mengkhawatirkan ibu seperti engkau mengkhawatirkan keberhasilan acaramu ? kapan terakhir engkau menanyakan keadaan adik-adikmu nak ? Apakah adik-adikmu ini tidak lebih penting dari anggota organisasimu nak ?
Anakku,ibu sungguh sedih mendengar ucapanmu.Saat engkau merasa sangat tidak produktif ketika harus menghabiskan waktu dengan keluargamu . Memang nak,menghabiskan waktu dengan keluargamu tak akan menyelesaikan tumpukan tugas yang harus kau buat,tak juga menyelesaikan berbagai amanah yang harus kau lakukan .Tapi bukankah keluargamu ini adalah tugasmu juga nak?bukankah keluargamu ini adalah amanahmu yang juga harus kau jaga nak?
Anakku,ibu mencoba membuka buku agendamu .Buku agenda sang aktivis.Jadwalmu begitu padat nak,ada rapat disana sini,ada jadwal mengkaji,ada jadwal bertemu dengan tokoh-tokoh penting.Ibu membuka lembar demi lembarnya,disana ada sekumpulan agendamu,ada sekumpulan mimpi dan harapanmu.Ibu membuka lagi lembar demi lembarnya,masih saja ibu berharap bahwa nama ibu ada disana.Ternyata memang tak ada nak,tak ada agenda untuk bersama ibumu yang renta ini.Tak ada cita-cita untuk ibumu ini . Padahal nak,andai engkau tahu sejak kau ada dirahim ibu tak ada cita dan agenda yang lebih penting untuk ibu selain cita dan agenda untukmu,putra kecilku..
Kalau boleh ibu meminjam bahasa mereka,mereka bilang engkau seorang organisatoris yang profesional.Boleh ibu bertanya nak,dimana profesionalitasmu untuk ibu ?dimana profesionalitasmu untuk keluarga ? Dimana engkau letakkan keluargamu dalam skala prioritas yang kau buat ?
Ah,waktumu terlalu mahal nak.Sampai-sampai ibu tak lagi mampu untuk membeli waktumu agar engkau bisa bersama ibu..
Setiap pertemuan pasti akan menemukan akhirnya. Pun pertemuan dengan orang tercinta,ibu,ayah,kaka dan adik . Akhirnya tak mundur sedetik tak maju sedetik .Dan hingga saat itu datang,jangan sampai yang tersisa hanyalah penyesalan.Tentang rasa cinta untuk mereka yang juga masih malu tuk diucapkan .Tentang rindu kebersamaan yang terlambat teruntai

Kamis, 24 November 2011

Surat Cinta Untuk Sang Murobbi

Bang..
aku baru saja melangkah dalam gerimis senja melewati rumah yang dulu kau tempati. Rumah papan sederhana, hitam karena asap, dan aku masih ingat kamarmu dibagian belakang tanpa jendela. Basah telapak menapaki lagi jalan itu, sebelum aku duduk menuliskan surat ini untukmu. Dalam senyap malam basah, ingin kukatakan bahwa aku membencimu.

Aku membencimu, karena kau tidak pernah peduli dengan rasa lelahku, kau selalu memaksaku untuk datang ke halaqah, menelponku berkali-kali hanya untuk mengingatkan jadwal. Padahal aku tidak lupa, hanya malas, malas dengan rutinitas mingguan yang sama sekali tidak berpengaruh untuk nilai kuliah ku.
Aku membencimu, karena kau selalu memotong bacaanku disetiap kali giliranku membaca Alquran. Selalu saja ada salahku, qalqalahku yang tidak tepatlah, huruf ‘ain ku yang bunyinya seperti alif, huruf izhar yang kubuat berdengung. Sehingga aku terlihat terbata-bata dan selalu kebagian jatah membaca Alquran paling lama dibandingkan dengan teman-teman yang lain. Aku terlihat begitu bodoh di depan teman-teman, dan pada akhirnya aku lebih memilih datang terlambat agar bisa melewati sesi membaca Alquran.. Tetapi lagi-lagi kau memarahiku karena aku datang terlambat. Huh.
Aku membencimu, karena kau selalu bertanya tentang amal yaumiku. Untuk apa? Bukankah itu urusanku dengan tuhanku. Cukuplah malaikat saja yang mencatat setiap amalanku, tidak perlu rasanya kau turut terlibat dalam pekerjaan malaikat. Tapi tidak, kau seperti malaikat di dalam kubur, kau tanya shalatku, puasa sunatku, dhuha ku, tahajjud ku dan tentu saja aku lebih banyak menjawab dengan gelengan kepala. Dan push up berkali-kali akan langsung jadi bayarannya. Hah.
Aku membencimu, karena kau selalu menambah tugas-tugas kuliahku dengan memintaku untuk membaca dan meresume buku yang kau rekomendasikan. Membaca buku Fiqh da’wah nya Mustafa masyhur yang begitu tebal. Kitab tafsirnya Ibnu Katsir, Sirah Nabawiyahnya shafiyurrahman al mubarakfury dan belum lagi tugas untuk mengahafal hadist arbain serta juz 30. Itu semua makin mempertinggi tumpukan tugas-tugas yang membebani hari-hariku.
Sungguh aku begitu membencimu, setahun bersamamu, kau membuat hidupku menjadi sempit, tidak boleh membaca komiklah, tidak boleh mendengarkan musiklah, tidak boleh menyanyikan lagu-lagu pop, tidak boleh terlambat shalat, sampai urusan farfumku pun kau permasalahkan. Hah, duniaku semakin kecil jika sudah berada didekatmu, taujihmu akan panjang lebar jika ada satu salah yang kau temui padaku.
Satu tahun berlalu bersamamu dalam kungkungan
Dan sungguh teramat kebencianku padamu, karena kau pergi begitu saja tanpa satu pesanpun untukku. Kau pergi disaat aku ingin untuk berubah, disaat aku ingin memperbaiki bacaan Alquranku bersamamu, kau pergi ketika aku butuh bimbingan yang lebih erat.
Bang..
Gerimis telah runtuh menjadi hujan, ia pun turun dihatiku, menggenangi semua. Meski ku tahu surat ini tidak akan pernah sampai kepadamu, biarlah kuceritakan pada hujan berharap ia akan mengabarkannya kepadamu, bahwa hari ini aku telah banyak berubah. Bukan lagi seperti yang dulu, aku sudah rajin membaca Alquran, tidak lagi telat untuk shalat, bacaankupun bukan lagi komik.. hanya satu yang beda, kau tidak lagi disini. Tidak di lingkaran ini, tidak juga di bumi ini.
Aku rindu taujihmu, aku rindu mendengarkan lagi bacaan Alquranmu, aku rindu menatap mata teduhmu, senyum tulusmu dan curahan ilmu darimu.. Aku pun rindu dengan sepotong roti yang selalu kau berikan disaat kita berbuka puasa, padahal itu bagianmu.
Kau telah lebih dahulu menemui apa yang dijanjikan Allah, diam-diam kau berangkat menuju Surga. aku membencimu, benci yang lebih syahdu dari sekedar cinta.



>>>
kepada yang telah membantu meluruskan jalan hidupku, memperkenalkanku dengan jalan da’wah, menampungku dalam tarbiyah : para murabbi ku.

Posted by rangtalu on 11 Juli 2010

Ini Pilihanku Mana Pilihanmu

Apakah ada dari kamu sekarang yang ngerasa kalo idup tuh nggak asik lagih, karena kamu pada keadaan yang serba nggak enak?
Apakah ada dari kamu yang menilai kalo Allah tuh nggak adil karena ngebuat jalan idup kamu nggak seenak yang laen- laen?
 
Apakah ada dari kamu sekarang yang lagi nggak ngerti gimana jalan keluar dari sesuatu masalah yang buat kamu adalah bener- bener stress ?
Dan seterusnya dan seterusnya dan seterusnya...

Remaja dan masalah, emang seperti ada lem perekat diantara keduanya. Mulai dari krisis pede, bolos sekolah, tawuran, kehamilan tidak dikehendaki dan aborsi, falling in love, broken heart, family and broken home, narkotika, seks bebas, and many more. Sebabnya juga macem- macem, dari mulai dari ortu yang katanya bermasalah, salah milih teman ampe berantem ama sodara bahkan putus asa ama diri sendiri.

Dan... banyak dari beberapa teman kita yang lagi terlibat masalah begituan diatas, yang ternyata pada akhirnya asyik nyalahin siapapun... kecuali dirinya sendiri, saat akhirnya hal yang negatif menimpa dia. Alasannya apa? karena hal itu adalah lebih mudah dilakukan ketimbang harus introspeksi diri dan ngelawan nafsu diri sendiri.

Tapi sayang sekali, hal mudah itu ternyata nggak ngebentuk mereka lebih hebat kecuali hanya sekedar berhenti pada level pengecut. Seorang pengecut adalah yang tidak berani bertanggung jawab atas apa yang telah di perbuatnya. Seorang pengecut juga biasanya tidak terlalu pintar untuk ngerti tentang benar ato salah terhadap apa yang dilakukan, dan jika hal itu suatu hari ternyata membawa masalah bagi dirinya, maka dengan mudahnya dia mencari kambing hitam untuk menerima segala konsekwensi dosa- dosanya.

Teman, sadar nggak sadar, masalah dalam hidup kita sebenarnya kitalah sendiri yang memilihnya. Atau dengan kata lain semua masalah  itu berasal dan dimulai dari diri kamu sendiri loh. Kok bisa? yups begitulah!.

Seandainya kita hidup dalam lingkungan yang jahat sekalipun, Allah masih memberi kita pilihan untuk menjadi jahat ataupun tetap memilih kebaikan. Kalaupun akhirnya kita menjadi jahat, itu adalah karena pilihan kita, sekalipun memang ada sumbangan dari orang lain yang bernama pengaruh. Nah salahnya kita, kita dengan tangan terbuka menerima dan memilih pengaruh jahat itu untuk kita lakukan.

Trus kalo ada yang bilang sangat sulit untuk memilih tetap menjadi baik dalam lingkungan seperti itu. Ya Allah, Allah terlalu penyayang teman, untuk nggak nolong kita yang jelas- jelas pengen berbuat kebaikan.

So, Selalu akan ada pilihan tentang kebaikan dalam lingkungan atau keadaan yang jahat dan nggak enak sekalipun. Jadi mulai sekarang, berhati- hatilah terhadap pilihanmu dan pilihan sikapmu, dan kalau kamu sudah memilih, bertanggung jawablah atas apapun pilihanmu itu.

Dan buat kamu yang ternyata dulu nggak sadar telah memilih pilihan yang salah, sehingga kamu sekarang ada pada keadaan yang terpuruk, maka jangan putus asa kawan.

Dalam keadaan apapun kamu sekarang, kamu adalah berharga dan masih tetap berharga, walau mungkin susah banget buat kamu buat ngehargain diri kamu sendiri. Kalo kamu marah sama keadaan, ya jangan cuma sampai disitu ajah. Marah en protes nggak bakal ngebawa efek apapun kecuali makin tambah ribet dah urusan kamu nanti. Pecahkan masalah itu dan jadilah pemenang. Paling nggak pemenang atas kemalasan diri kamu sendiri untuk jadi seorang pemenang.

Guys, menjadi remaja adalah sesuatu yang natural dan manusiawi, toh semua manusia pasti berproses dan bakal ngelewatin semua itu. Tapi jadi remaja yang dewasa yang berpikir dan bertindak lebih dari dari kualitas seorang remaja kebanyakan itulah yang bakal ngebuat kamu lebih.

So, perbaikin pola pikir kamu dalam melihat sesuatu, selalu lihat pada sisi yang positif tentunya, termasuk pada sesulit apapun keadaan yang lagi kamu alamin sekarang. Karena waktu akan terus berjalan teman, nggak perduli kamu siap ato tidak. Kalo kenyataannnya kamu benar- benar ga siap, ya kamu bakal ketinggalan sama yang laen. Dan sebagai seorang yang pintar en cerdas, tentunya nggak pantas juga kalo kita bangga pas ngeliat diri sendiri ternyata dah jauh banget tertinggal dalam banyak hal dari pada yang laen.

Kalo kata orang, remaja emang identik dengan labil dan kurang pengalaman dalam menyikapi sesuatu, yups setuju banget. Tapi nggak ada satupun aturan kan, yang melarang seorang remaja untuk menjadi stabil dan berpengalaman, dan atau mencari pengetahuan yang lebih untuk menjadi lebih stabil dan lebih berpengalaman?.

Semua tergantung pintarnya kamu dan kuatnya keinginan kamu dalam mengolah masalah itu sendiri agar terpecahkan atau bahkan terasa menjadi menyenangkan.

Maka dari itu teman, cepet deh buru- buru cut itu perasaan nggak enak dan sikap yang sibuk nyalahin orang lain sehingga kamu punya alasan buat nyiksa diri dengan berbagai hal negatif yang bakal mangkas kemampuan kamu buat maju. Sadarin, kalo idup emang kumpulan dari berbagai masalah yang menempa kamu agar lebih jadi dewasa dan nggak manja. Simplenya gini, Kalo nggak ketemu masalah, ya nggak bakal manusia itu idup.

Dan kalo urusannya adalah kamu merasa nggak ada lagi yang ngedukung kamu alias kamu ngerasa selalu sendirian saat kudu berhadapan dengan masalah yang udah sangat berat banget menurut kamu, ingat aja satu hal teman.. kamu masih punya Allah dan akan selalu punya Allah, selama kamu merasa dan mau berdekatan dengan Allah. Semua tergantung diri kamu sendiri.

Dan kamu akan berarah kemana dan seperti apa skenario idup kamu selanjutnya, semua bakal di mulai dari pilihan pilihan idup kamu sekarang ini,

Jadi sekali lagi,  berhati- hatilah terhadap pilihanmu, dan kalau sudah memilih, bertanggung jawablah atas apapun pilihanmu itu.
Dan buat pilihan terbaikmu sekarang, dan lakukan !

(NayMa/Voa-Islam.com)

10 November Bukan Sekedar Dikenang

Setiap 10 November bangsa Indonesia memperingati hari pahlawan. Dalam bentuk penghormatan terhadap jasa-jasa para pahlawan, sejenak bangsa Indonesia mengheningkan cipta diberbagai sekolah, kantor instunsi pemerintahan dan tempat-tempat lain. Namun tidak banyak pula teman-teman kita yang sampai hari ini kurang menyadari atas jasa para pahlawan, dan jarang sekali yang mengambil hikmah serta ketauladanan para pahlawan.

Andai Pahlawan itu bisa melihat zaman ini
Terbenak pertanyaan, apabila pahlawan-pahlawan kita yang merebut kemerdekaan atas pengorbanan harta dan jiwanya melihat kondisi generasi-generasinya saat ini? Mungkin kah ia mengais, apa mungkin  ia berbangga hati?, atau mungkin ia sama sekali tak ingin melihat. Sahabarohis, realitanya saat ini memang sangat berbeda dengan zaman dimana para pahlawan mengorbankan segala jiwa dan raganya dalam membela Agama, dan Negara. Kalau dulu Ust. Jenderal Soedirman bersikeras mempertahankan amanahnya, walau dirundung sakitnya namun ia tetap melaksanakan tugas sebagai Jenderal perang bangsa Indonesia. Berbeda dengan saat ini, banyak temen-temen kita, sakit dikit gak masuk sekolah, sakit dikit gak mau ikut rapat rohis, dan menjadikan sakit sebagai alasan untuk mengamankan posisi santainya. Dan sudah menjadi hal yag sangat biasa melihat kondisi generasi muda manja diberbagai sekolah.

Bukan hanya manja, gaya hidup kebarat-barat pun menjadi pedoman. Terus timbul dah pamer-pamer harta, pilih-pilih temen ngegosip gak jelas percis banget saa lirik tim Nasyid Justice Voice yang berjudul ABEGE. Terus gimana seharusnya generasi bangsa ini menghormati para jasa pahlawan.

1. Tularkanlah semangat pantang menyerah pahlawan,
Semangat pantang menyerah ini sangat dibutuhkan, sebab kunci sebuah harapan adalah semangat. Semnagt untuk lebih baik, semangat untuk sholat tepat waktu, semangat puasa sunnah, semangat qiyamulail. Dan tularkanlah semangat para pahlawan untuk kehidupan kita.

2.Berpegang teguh kepada Allah
Keistiqomahan para pahlawan ketika merampas kemerdekaan dari tangan penjajah belanda, sungguh harus kita contohkan. KH. Hasyim Ashari pendiri NU contohnya, walaupun bliau sangat kompeten untuk memegang amanah sebagai presiden RI. Namun ia tetap kekeh dengan pendiriannya untuk tidak patuh terhadap jepang. Karena patuh terhadap jepang, tandanya sudah keluar dari islam, itu prinsip yang ia pegang. Sahabatrohis, belajarlah dari sosok pahlawan satu ini,karena hakekat hari sumpah pemuda bukanlah hanya sekedar dikenang.

3. Mau berkorban
Kalo cinta apapun makanannya manis rasanya, begitulah yang dirasakan oleh para pahlawn-pahlawan kita. Atas dasar cinta mereka korban segala apa yang mereka bisa lakukan untuk Islam, untuk negara dan anak cucu nya. Maka tidak lumrah jika, pengorbanan adalah bukti cinta kita kepada Allah, pengorbanan adakah bukti bahwa kita benar-benar ingin mendapat perhatian dari Allah. Begitupun kita seharusnya, bagaimana pengorbanan para pahlawan-pahlawan ini bisa kita contohkan di kehidupan. ROHIS misalnya, bagaimana menyita waktu banyak untuk melaksanakan program kerja ROHIS. Ataupun acara-acara yang banyak manafaatnya untuk orang lain yang tentu memakan waktu kita begitu banyak. Bukan hanya waktu mungkin juga pikiran, bahkan sebagian rizki kita. Maka sungguh tidak ada balasan kebaikan kecuali kebaikan yang kita dapatkan. Percayalah sahabat :)

Selamat Hari Pahlawan 10 November 2011

Kamis, 01 September 2011

Saya Mau Keluar dari Jalan Ini Saja!!!

Ustadz, dulu ana merasa semangat dalam dakwah. Tapi belakangan rasanya semakin hambar. Ukhuwah makin kering. Bahkan ana melihat ternyata ikhwah banyak pula yang aneh-aneh." Begitu keluh kesah seorang mad'u kepada murabbinya di suatu malam.


Sang murabbi hanya terdiam, mencoba terus menggali semua kecamuk dalam diri mad'unya. "Lalu, apa yang ingin antum lakukan setelah merasakan semua itu?" sahut sang murabbi setelah sesaat termenung.


“Ana ingin berhenti saja, keluar dari tarbiyah ini. Ana kecewa dengan perilaku beberapa ikhwah yang justru tidak islami. Juga dengan organisasi dakwah yang ana geluti, kaku dan sering mematikan potensi anggota-anggotanya. Bila begini terus, ana mendingan sendiri saja..." jawab mad'u itu.


Sang murabbi termenung kembali. Tidak tampak raut terkejut dari roman wajahnya. Sorot matanya tetap terlihat tenang, seakan jawaban itu memang sudah diketahuinya sejak awal.


"Akhi, bila suatu kali antum naik sebuah kapal mengarungi lautan luas. Kapal itu ternyata sudah amat bobrok. Layarnya banyak berlubang, kayunya banyak yang keropos bahkan kabinnya bau kotoran manusia. Lalu, apa yang akan antum lakukan untuk tetap sampai pada tujuan?" tanya sang murabbi dengan kiasan bermakna dalam.


Sang mad'u terdiam berpikir. Tak kuasa hatinya mendapat umpan balik sedemikian tajam melalui kiasan yang amat tepat.


"Apakah antum memilih untuk terjun ke laut dan berenang sampai tujuan?" sang murabbi mencoba memberi opsi.


"Bila antum terjun ke laut, sesaat antum akan merasa senang. Bebas dari bau kotoran manusia, merasakan kesegaran air laut, atau bebas bermain dengan ikan lumba-lumba. Tapi itu hanya sesaat. Berapa kekuatan antum untuk berenang hingga tujuan? Bagaimana bila ikan hiu datang? Darimana antum mendapat makan dan minum? Bila malam datang, bagaimana antum mengatasi hawa dingin?" serentetan pertanyaan dihamparkan di hadapan sang mad'u.


Tak ayal, sang mad'u menangis tersedu. Tak kuasa rasa hatinya menahan kegundahan sedemikian. Kekecewaannya kadung memuncak, namun sang murabbi yang dihormatinya justru tidak memberi jalan keluar yang sesuai dengan keinginannya.


“Akhi, apakah antum masih merasa bahwa jalan dakwah adalah jalan yang paling utama menuju ridho Allah?" Pertanyaan menohok ini menghujam jiwa sang mad'u. Ia hanya mengangguk.


"Bagaimana bila temyata mobil yang antum kendarai dalam menempuh jalan itu temyata mogok? Antum akan berjalan kaki meninggalkan mobil itu tergeletak di jalan, atau mencoba memperbaikinya?" tanya sang murabbi lagi.


Sang mad'u tetap terdiam dalam sesenggukan tangis perlahannya.


Tiba-tiba ia mengangkat tangannya, "Cukup ustadz, cukup. Ana sadar. Maafkan ana. Ana akan tetap istiqamah. Ana berdakwah bukan untuk mendapat medali kehormatan. Atau agar setiap kata-kata ana diperhatikan..."


"Biarlah yang lain dengan urusan pribadi masing-masing. Ana akan tetap berjalan dalam dakwah ini. Dan hanya Allah saja yang akan membahagiakan ana kelak dengan janji-janji-Nya. Biarlah segala kepedihan yang ana rasakan jadi pelebur dosa-dosa ana", sang mad'u berazzam di hadapan murabbi yang semakin dihormatinya.


Sang murabbi tersenyum. "Akhi, jama'ah ini adalah jama'ah manusia. Mereka adalah kumpulan insan yang punya banyak kelemahan. Tapi di balik kelemahan itu, masih amat banyak kebaikan yang mereka miliki. Mereka adalah pribadi-pribadi yang menyambut seruan Allah untuk berdakwah. Dengan begitu, mereka sedang berproses menjadi manusia terbaik pilihan Allah."


"Bila ada satu dua kelemahan dan kesalahan mereka, janganlah hal itu mendominasi perasaan antum. Sebagaimana Allah ta'ala menghapus dosa manusia dengan amal baik mereka, hapuslah kesalahan mereka di mata antum dengan kebaikan-kebaikan mereka terhadap dakwah selama ini. Karena di mata Allah, belum tentu antum lebih baik dari mereka."


"Futur, mundur, kecewa atau bahkan berpaling menjadi lawan bukanlah jalan yang masuk akal. Apabila setiap ketidak-sepakatan selalu disikapi dengan jalan itu, maka kapankah dakwah ini dapat berjalan dengan baik?" sambungnya panjang lebar.


"Kita bukan sekedar pengamat yang hanya bisa berkomentar. Atau hanya pandai menuding-nuding sebuah kesalahan. Kalau hanya itu, orang kafirpun bisa melakukannya. Tapi kita adalah da'i. Kita adalah khalifah. Kitalah yang diserahi amanat oleh Allah untuk membenahi masalah-masalah di muka bumi. Bukan hanya mengeksposnya, yang bisa jadi justru semakin memperuncing masalah."


"Jangan sampai, kita seperti menyiram bensin ke sebuah bara api. Bara yang tadinya kecil tak bernilai, bisa menjelma menjadi nyala api yang membakar apa saja. Termasuk kita sendiri!"


Sang mad'u termenung merenungi setiap kalimat murabbinya. Azzamnya memang kembali menguat. Namun ada satu hal tetap bergelayut dihatinya.


"Tapi bagaimana ana bisa memperbaiki organisasi dakwah dengan kapasitas ana yang lemah ini?" sebuah pertanyaan konstruktif akhirnya muncul juga.


"Siapa bilang kapasitas antum lemah? Apakah Allah mewahyukan begitu kepada antum? Semua manusia punya kapasitas yang berbeda. Namun tidak ada yang bisa menilai, bahwa yang satu lebih baik dari yang lain!" sahut sang murabbi.


"Bekerjalah dengan ikhlas. Berilah taushiah dalam kebenaran, kesabaran dan kasih sayang kepada semua ikhwah yang terlibat dalam organisasi itu. Karena peringatan selalu berguna bagi orang beriman. Bila ada sebuah isyu atau gosip, tutuplah telinga antum dan bertaubatlah. Singkirkan segala ghil (dengki, benci, iri hati) antum terhadap saudara antum sendiri. Dengan itulah, Bilal yang mantan budak hina menemui kemuliaannya."


Suasana dialog itu mulai mencair. Semakin lama, pembicaraan melebar dengan akrabnya. Tak terasa, kokok ayam jantan memecah suasana. Sang mad'u bergegas mengambil wudhu untuk qiyamullail malam itu. Sang murabbi sibuk membangunkan beberapa mad'unya yang lain dari asyik tidurnya.


Malam itu, sang mad'u menyadari kekhilafannya. Ia bertekad untuk tetap berputar bersama jama'ah dalam mengarungi jalan dakwah. Pencerahan diperolehnya. Demikian juga yang diharapkan dari Antum/antunna yang membaca tulisan ini.. Insya Allah kita tetap istiqamah di jalan dakwah ini.. Dalam samudera tarbiyah ini..


Wallahu a'lam.


sumber: Majalah Al-Izzah, No. 07/Th.4 (dengan perubahan seperlunya)

Kamis, 04 Agustus 2011

Inspirasi Pelajar Indonesia.. Tak Malu Untuk Kesuksesan..

REPUBLIKA.CO.ID,YOGYAKARTA--"Maaf, Mas, jam 4 aku harus ngajar TPA," katanya membuka percakapan. Dia terlihat lelah dan pucat. Memarkir sepedanya di halaman kantor Dompet Dhuafa Yogyakarta, gadis itu masih terengah-engah. "Mau minum?" saya menawarkan. "Terima kasih, saya sedang puasa sunnah Senin," jawabnya cepat. Hebat, batin saya. Perlahan dia menaruh tas gendongnya di kursi dan mulai bicara.


Gadis di depan saya adalah Sri Suryani. Dia baru 16 tahun dan saat ini sedang bersekolah di salah satu SMA favorit di Yogya. Di sekolah dia masuk 10 besar. Yanni, berbeda dengan anak seusianya yang sebagian besar masih asyik bersenang-senang menikmati masa remaja. Di usia remaja dia terpaksa menjadi tulang punggung dan kepala keluarga sejak 2008.


“Tahun 2006 ibu saya, Wiji Lestari, meninggal mendadak di usia 39 tahun, tanpa sebab apa-apa. Saya masih kelas 2 SMP. Saat itu saya sedang mengajar di TPA sore-sore dan tahu-tahu dikabari bahwa Ibu sudah nggak ada. Tahun 2008, bapak saya, Mujiwal (49), terkena stroke. Pekerjaannya sehari-hari sebagai buruh bangunan berhenti,” tuturnya lugas, seolah semua itu bukan masalah yang besar.


Sejak itu, Yanni seketika merangkap jadi kepala keluarga, membiayai dirinya berikut ayah dan Nugroho, adiknya yang masih SD. Untuk membiayai sekolahnya, dia berakit-rakit dari satu beasiswa ke beasiswa yang lain. Salah satunya dari Dompet Dhuafa Yogya, karena sebelumnya dia dibantu oleh BMT Beringharjo yang merupakan mitra DD Yogya. Beasiswa ini dia gunakan untuk membiayai sekolahnya.


Setiap hari Yanni berangkat ke sekolah dari rumahnya di Kampung Bangunrejo, Kelurahan Kricak, Kecamatan Tegalrejo, Kota Yogyakarta dengan sepeda. Selepas sekolah, dia mengajari adiknya menyelesaikan PR dan segera berangkat lagi mengajar TPA dan ke tempat privat sampai malam. Honornya relatif, rata-rata Rp 400 ribu sebulan kalau ditotal. Di dusun kecil itu, Yanni hanya tinggal bertiga, keluarga besar orang tuanya berada di Klaten.


"Saya tidak mau merepotkan dan menjadi beban bagi keluarga besar," katanya. Lalu kapan belajarnya? "Saya belajar setiap habis salat tahajud, jam 3 sampai jam 5. Setelah itu ya resik-resik dan menyiapkan kebutuhan Ayah dan adik," tuturnya. Dia mengaku walaupun hanya 2 jam belajar, sudah cukup untuk memahami materi. Hasilnya, pada setiap ujian semester, nilainya cukup memuaskan.


Ketika ditanya bagaimana reaksi teman-temannya dengan kondisinya, Yanni menjawab diplomatis, "Kalau mereka `kan kebanyakan kondisinya ideal, jadi tinggal belajar tok! Saya tetap berhubungan dengan baik dan menerima ajakan mereka selama tidak mengganggu amanah saya.” Selepas SMA tahun depan, cita-citanya hanya satu, masuk Fakultas Kedokteran UGM, menjadi dokter dan berkarya di bidang kesehatan. “Bismillah, semoga Allah meridai. Saya ingin jadi direktur sebuah rumah sakit gratis untuk orang miskin berskala internasional,” katanya berharap. Yanni mengaku sering membaca di koran, banyak keluarga miskin ditolak masuk rumah sakit karena jatah Jamkesmas habis.


“Itu yang salah siapa? Pemerintah atau siapa, saya ingin menolong mereka,” ucapnya menerawang. Cita-citanya untuk kuliah di Yogya bukan tanpa alasan. Ayah dan adiknya sangat butuh perhatiannya. Yanni sendiri sangat berharap, bisa membawa ayahnya ke rumah sakit mengobati stroke-nya, agar ayah nya bisa pulih kembali seperti sedia kala. Walaupun belum tahu bagaimana dia akan meraih cita-citanya, namun setidaknya Yanni sudah memiliki semangat baja dan mental tangguh yang jarang dimiliki bahkan oleh orang dewasa sekali pun.


Redaktur: irf
Reporter: akh

Minggu, 05 Juni 2011

Selamat Tinggal Rohisku

Sebuah perasaan yang amat membingungkan yang kini kita rasakan. Sebuah dilema dalam diri ini yang semakin hari, semakin membingungkan. Hanya Allah saja yang dapat menenangkan hati ini.

Bismillahirrohmanirrohim.
Subhanallah, akhirnya Ana dapat menghirup nafas lega setelah kabar kelulusan itupun menghampiri. Ya benar, Ana sangat senang karena Ana dapat lulus sekolah tingkat SMA dengan hasil keringat sendiri yang telah ditempa selama tiga tahun silam. Bukan dengan cara-cara yang diharamkan oleh Allah untuk menggapai sebuah nilai “kelulusan” dengan mudah, tentu saja “bocoran”. Tapi Ana menghindari itu semua, karena Ana yakin bahwa “Allah akan menolong Hamba-hambanya yang menolong Agama-Nya”. Sungguh sebuah perjalanan hidup yang sangat menyenangkan. Namun ada lagi sebuah perjalanan Ana yang sangat luar biasa. Perjalanan hidup yang hanya didapatkan oleh orang-orang terpilih langsung dari Sang Pencipta. Ya benar sekali, disanalah Ana menemukan Arti Sebuah Kehidupan di masa muda zaman modern seperti ini. Disaat banyak remaja yang tergiur oleh buaian duniawi yang hanya “fana” semata. Dan disana Ana ditempa menjadi seorang Pemuda yang sesungguhnya. Yaitu pemuda harapan Ummat ini.
Sebuah wadah yang penuh dengan kenangan, penuh dengan pengalaman, penuh dengan cobaan, dan penuh dengan tanggung jawab. Itulah Rohis (Rohani Islam). Tempat pertama kali Ana bermuara dalam indahnya kata “Perjuangan” yang sebenarnya. Disana Ana ditempa menjadi seorang Pemuda yang sebenarnya. Tidak hanya memikirkan Akademik semata yang dilakukan oleh Pelajar umumnya, namun Ana ditempa menjadi seorang Pelajar yang berakademik baik sekaligus membentuk akhlak yang bai pula. Dan yang tidak ketinggalan lagi, disini Ana dibentuk untuk menjadi “Penyeru” dalam kebaikan, kebenaran, yaitu Penyeru dalam “Kebaikan”. Itulah Dakwah Sekolah.

Sungguh luar biasa mereka semua. Disaat orang lain sedang sibuk-sibuknya dalam menggapai kesenangan duniawi, mengejar akademik, menjalin percintaan yang diharamkan, berfoya-foya, dan sebagainya, namun kita dibentuk untuk memperbaiki diri sendiri sekaligus memperbaiki orang lain juga. Memikirkan orang lain juga. Dan Ana yakin sekali suatu hari nanti mereka semua akan menjadi Pemimpin yang luar biasa. Menjadi orang-orang yang akan membentuk Moral sebuah bangsa ini kedepannya. Minimal pemimpin untuk dirinya sendiri dan keluarganya. Karena mereka semua adalah orang-orang spesial yang pernah Ana kenal.

Di awal memasuki pintu “Gerbang Dakwah Sekolah” itulah Ana merasakan sesuatu yang berbeda. Menemukan banyak teman-teman dan sahabat-sahabat perjuangan yang sebenarnya. Yaitu yang selalu menegur kita saat dalam kemaksiatan, kesalahan, dan khilaf. Dan juga mengajak kita selalu dalam menempa diri menjadi Muslim Sejati. Mengajak kita untuk selalu memperbaiki diri ini yang kotor berlumur banyak dosa-dosa. Subhanallah.. Masih terbesit dalam memoriku saat mereka mengirim SMS Tausyiah yang menggelorakan jiwa untuk untuk bangkit menuju kebaikan dan berlomba-lomba menggapai Ridho-Nya.

Ya. Masih sangat terbesit dan sepertinya takkan terlupakan begitu saja saat kita membuat sebuah acara di Rohis itu. Saat kita menyusun sebuah konsep acara bersama, syuro, diskusi, membentuk kepanitiaan, menyebar proposal, dan menjadi panitia saat hari “H”. Terkadang banyak ide-ide yang bentrok antar panitia. Terutama antar panitia ikhwan dengan akhwat. Masih sangat terbesit dalam memori ini saat gagasa menolak atau merubah konsep yang sangat kontradiksi antar kita. Sampai-sampai ada juga yang kecewa, menangis, sedih, dan sakit hati. Namun setelah itu, kami belajar sebuah arti kedewasaan dalam kehidupan ini. Saling memaafkan dan memahami adalah sebuah kata kunci untuk itu. Alhamdulillah Ya Allah.

Ya. Sesuai target kita, banyak anak-anak Rohis yang mendapat juara kelas, nilai yang memuaskan, ikut Olimpiade, OSN, anak kesayangan guru, teladan kelas, dan sebagainya. Itulah kita, pemuda-pemudi Islam yang Cerdas dan Berakhlak baik. Tak jarang banyak diantara kita yang mendapat penghargaan baik dari sekolah kita. Subhanallah Ana menumak jalan yang benar saat masa muda Ana. Menempa diri menjadi Pemuda-Pemudi Islam sejati.

Suatu ketika, kabar yang pasti kan datang tiba juga. Sebuah takdir yang telah Allah tetapkan. Bahwa jika ada Siang, akan ada Malam yang menggantikannya. Jika ada hari Senin, akan datang hari Selasa. Begitu seterusnya roda kehidupan ini. Jika ada sebuah pertemuan, pastilah ada sebuah perpisahan yang kan terjadi. Itulah yang akan kita hadapi. Dan kini telah terjadi kawanku. Ana sangat sedih saat perpisahan itu datang karena harus menginggalkan sekolah tercinta yang merupakan sebuah Ladang Amal kita untuk mencari Ridho-Nya. Juga sangat sedih saat menginggalkan sebuah wadah yang dahulu Ana diajarkan tentang menemui arti sebuah kehidupan di masa belia ini. Akhirnya perpisahan itu memaksa kita untuk berpisah terhadap teman-teman dan sahabat-sahabat perjuangan kita di Rohis selama ini. Yang penuh dengan senyuman, canda, tawa, keseriusan, kadang pula ada duka yang menghampiri.

Inilah sebuah dilema dalam diri Ana yang masih terbesit hingga sekarang. Antara senang dan sedih. Senang karena akan terjun baru dalam dunia Dakwah Kampus, yang mempunyai tantangan luar biasa dan akan bertemu juga dengan orang-orang yang luar biasa. Namun disisi lain sedih. Sedih karena harus meninggalkan Rohis. Bukannya Ana sedih karena hal duniawi kawanku. Namun karena Ana sedih, bagaimana dengan Kaderisasi dan Pembinaan akan Rohis kedepannya? Disaat banyak Alumni yang sudah semakin goyang dalam kancahnya untuk menjadi Aktifis Dakwah Sekolah ini karena kesibukan mereka diluar sana. Terlebih lagi saat kita mendapat Pendidikan Kuliah di luar daerah sana yang jauh. Sedih karena khawatir tidak dapat mengontrol adik-adik perjuangan kita di Rohis. Sedih karena ada sebuah pertanyaan besar  “Bagaimana Rohis ke-Depannya?” Sedih karena takut, Ana futur dipertengahan Jalan ini. Memang saat awal-awalnya mempunyai semangat yang membara dan menggebu-gebu, namun saat dipertengahan bahkan akhirnya bagaimana?

Ya. Memang benar masih ada teman perjuangan kita yang masih ada disana. Namun apakah itu dapat bertahan lama jika dia seorang diri untuk mengurusi sebuah amanah yang sangat luar biasa? Jika dia futur, siapa yang menggantikan? Sementara kita hanya melihat dan asyik dalam dunia kampus saja. Hanya sebuah sokongan yang dapat Ana berikan, yaitu Do’a Rabithoh untuk menguatkan hati-hati kita dalam perjuangan ini. Dan semoga kita semua menjadi Agent of Leader yang membentok Moral Bangsa ini kedepannya. Walaupun melalui sebuah wadah bernama Rohis.

Sedih hati ini saat mengatakan “Selamat Tinggal Rohisku, Selamat Tinggal Sahabatku”.


>>Milisi Thulaby

Jumat, 20 Mei 2011

Si Belang, Si Botak, dan Si Buta yang Diuji Allah

 Zaman dahulu kala, ada tiga orang Bani Israil. Orang yang pertama berkulit belang (sopak), yang kedua berkepala botak, dan yang ketiga buta. Allah ingin menguji ketiga orang tersebut. Maka Dia mengutus kepada mereka satu malaikat.
Malaikat mendatangi orang yang berpenyakit sopak (Si Belang) dan bertanya kepadanya, “Sesuatu apakah yang engkau minta?”
Si Belang menjawab, “Warna yang bagus dan kulit yang bagus serta hilangnya dari diri saya sesuatu yang membuat orang-orang jijik kepada saya.”
Lalu malaikat itu mengusapnya dan seketika itu hilanglah penyakitnya yang menjijikkan itu. Kini ia memiliki warna kulit yang bagus. Kemudian malaikat itu bertanya lagi kepadanya, “Harta apa yang paling engkau sukai?”
Orang itu menjawab, “Onta.”
Akhirnya orang itu diberikan seekor onta yang bunting seraya didoakan oleh malaikat, “Semoga Allah memberi berkah untukmu dalam onta ini.”
Kemudian malaikat mendatangi si Botak dan bertanya kepadanya, “Apakah yang paling engkau sukai?”
Si Botak menjawab, “Rambut yang indah dan hilangnya dari diri saya penyakit yang karenanya aku dijauhi oleh manusia.”
Malaikat lalu mengusapnya, hingga hilanglah penyakitnya dan dia diberi rambut yang indah. Malaikat bertanya lagi, “Harta apa yang paling engkau sukai?”
Orang itu menjawab, “Sapi.”
Akhirnya si Botak diberikan seekor sapi yang bunting dan didoakan oleh malaikat, “Semoga Allah memberkahinya untukmu.”
Selanjutnya malaikat mendatangi si Buta dan bertanya kepadanya, “Apa yang paling engkau sukai?”
Si Buta menjawab, “Allah mengembalikan kepada saya mata saya agar saya bisa melihat manusia.”
Malaikat lalu mengusapnya hingga Allah mengembalikan pandangannya. Si Buta bisa melihat lagi. Setelah itu malaikat bertanya lagi kepadanya, “Harta apa yang paling engkau sukai?”
Orang itu menjawab, “Kambing.”
Akhirnya diberilah seekor kambing yang bunting kepadanya sambil malaikat mendoakannya.
Singkat cerita, dari hewan yang dimiliki ketiga orang itu beranak dan berkembang biak. Yang pertama memiliki satu lembah onta, yang kedua memiliki satu lembah sapi, dan yang ketiga memiliki satu lembah kambing.
Kemudian sang malaikat – dengan wujud berbeda dengan sebelumnya – mendatangi si Belang. Malaikat berkata kepadanya, “Seorang miskin telah terputus bagiku semua sebab dalam safarku, maka kini tidak ada bekal bagiku kecuali pertolongan Allah kemudian dengan pertolongan Anda. Saya memohon kepada Anda demi (Allah) Yang telah memberi Anda warna yang bagus, kulit yang bagus, dan harta, satu ekor onta saja yang bisa menghantarkan saya dalam safar saya ini.”
Orang yang tadinya belang itu menanggapi, “Hak-hak orang masih banyak.”
Lalu malaikat bertanya kepadanya, “Sepertinya saya mengenal Anda. Bukankah Anda dulu berkulit belang yang dijauhi oleh orang-orang dan juga fakir, kemudian Anda diberi oleh Allah?”
Orang itu menjawab, “Sesungguhnya harta ini saya warisi dari orang-orang tuaku.”
Maka malaikat berkata kepadanya, “Jika kamu dusta, maka Allah akan mengembalikanmu pada keadaan semula.”
Lalu, dengan rupa dan penampilan sebagai orang miskin, malaikat mendatangi mantan si Botak. Malaikat berkata kepada orang ini seperti yang dia katakan kepada si Belang sebelumnya. Ternyata tanggapan si Botak sama persis dengan si Belang. Maka malaikat pun menanggapinya, “Jika kamu berdusta, Allah pasti mengembalikanmu kepada keadaan semula.”
Lalu malaikat – dengan rupa dan penampilan berbeda dengan sebelumnya – mendatangi si Buta. Malaikat berkata kepadanya, “Seorang miskin dan Ibn Sabil yang telah kehabisan bekal dan usaha dalam perjalanan, maka hari ini tidak ada lagi bekal yang menghantarkan aku ke tujuan kecuali dengan pertolongan Allah kemudian dengan pertolongan Anda. Saya memohon kepada Anda, demi Allah yang mengembalikan pandangan Anda, satu ekor kambing saja supaya saya bisa meneruskan perjalanan saya.”
Maka si Buta menanggapinya, “Saya dulu buta lalu Allah mengembalikan pandangan saya. Maka ambillah apa yang kamu suka dan tinggalkanlah apa yang kamu suka. Demi Allah aku tidak keberatan kepada kamu dengan apa yang kamu ambil karena Allah.”
Lalu malaikat berkata kepadanya, “Jagalah harta kekayaanmu. Sebenarnya kamu (hanyalah) diuji. Dan Allah telah ridha kepadamu dan murka kepada dua sahabatmu.”
***
Demikianlah kisah ini, Allah senantiasa menguji hamba-hamba-Nya, dan kita pun senantiasa diuji oleh-Nya. Dalam kisah tadi, ada dua hal yang menjadi bahan ujian, yaitu kesehatan, penampilan fisik, dan harta. Mudah-mudahan kita adalah yang orang yang lulus ujian sebagaimana si Buta. Jika kita ingin seperti si Buta, maka kita harus berusaha menjadi bagian dari orang-orang yang bersyukur dan senantiasa merasakan adanya pengawasan Allah (muraqabatullah).
Semoga Allah senantiasa ridha dan tidak murka kepada kita semua.. Aamiin.
Maraji’: Hadits Riwayat Bukhari – Muslim
(hudzaifah/hdn)

Juang Cinta Para Wanita

 “Wahai Abu Utsman,” kata perempuan itu, “Sungguh aku mencintaimu.”
Suasana hening sejenak. “Aku memohon, atas nama Allah, agar sudilah kiranya engkau menikahiku,” lanjutnya.
Lelaki yang bernama lengkap Abu Utsman An Naisaburi itu diam. Ada keterkejutan dan kegamangan dalam dirinya tatkala mendengar perkataan perempuan yang datang kepadanya itu. Ia tidak mengenal perempuan ini dengan baik. Namun, tiba-tiba saja perempuan ini datang menemuinya dan menyatakan rasa cintanya yang dalam kepadanya. Bahkan saat itu pula, atas nama Allah, perempuan itu meminta pada Abu Utsman untuk menikahinya. Seakan keterkejutan yang dirasakan Abu Utsman bertumpuk-tumpuk di atmosfir hatinya.
Abu Utsman diam. Memikirkan keputusan apa yang hendak diambilnya. Sebagai seorang pemuda, ia dihadapkan pada sebuah keputusan besar dalam hidupnya. Sebuah keputusan yang mungkin akan dijalaninya selama lebih dari separuh usianya dan separuh imannya. Selama ini keluarganya senantiasa mendorongnya untuk segera meminang salah seorang perempuan shalihah di wilayah itu. Namun, ia selalu menolak dorongan dari keluarganya itu hingga hari ini. Maka, sampai sekarang ia masih juga membujang. Ia akan mengambil sebuah keputusan besar dalam hidupnya, termasuk segala konsekuensi yang menyertainya.
Imam Abul Faraj Abdurahman ibnu Al Jauzi menuliskan dalam salah satu kitabnya, Shaidul Khathir, bahwa Abu Utsman kemudian datang ke rumah si perempuan. Ia mendapati orangtua si perempuan adalah orang yang miskin. Namun, keputusannya tetaplah bulat untuk meminang si perempuan yang datang menyatakan cinta kepadanya itu. Terlebih lagi karena perempuan itu memintanya untuk menikahinya. Ia menyaksikan kebahagiaan yang berlimpah pada orangtua si perempuan mendengar bahwa putrinya dipinang oleh Abu Utsman, lelaki yang berilmu, tampan, shalih, penyabar, setia, jujur, tulus, dan terhormat.
Mereka pun menikah. Hingga akhirnya sang istri itu meninggal dunia lima belas tahun kemudian. Namun, sejak malam pengantin mereka ada kisah yang baru terungkap setelah kematian sang istri. “Ketika perempuan itu datang menemuiku,” kisahnya, “Barulah aku tahu kalau matanya juling dan wajahnya sangat jelek dan buruk. Namun, ketulusan cintanya padaku telah mencegahku keluar dari kamar. Aku pun terus duduk dan menyambutnya tanpa sedikit pun mengekspresikan rasa benci dan marah. Semua demi menjaga perasaannya. Walaupun aku bagai berada di atas panggang api kemarahan dan kebencian.”
Ah, kita jangan marah pada Abu Utsman yang mengharapkan istri yang cantik dan sempurna, tapi kemudian hanya mendapatkan istri juling dan buruk wajah. Itu merupakan sisi manusiawi dari lelaki yang menginginkan kecantikan dan kesempurnaan dari pendamping hidupnya. “Begitulah kulalui lima belas tahun dari hidupku bersamanya hingga dia meninggal,” lanjutnya berkisah. “Maka, tiada amal yang paling kuharapkan pahalanya di akhirat, selain masa-masa lima belas tahun dari kesabaran dan kesetiaanku menjaga perasaannya dan ketulusan cintanya.” Kesetiaan itu adalah bintang di langit kebesaran jiwa, kata Anis Matta.
Sungguh, saya sangat kagum dengan sepasang suami istri ini. Meskipun cinta di antara mereka tidak pernah benar-benar ada dalam masa-masa lima belas tahun perkawinan itu, tapi perjuangan cinta si perempuan sangat luar biasa di mata saya. Meskipun sang perempuan itu tahu bahwa ia bermata juling, meskipun ia tahu bahwa ia hanya anak orang miskin, meskipun ia tahu bahwa ia bukan perempuan berwajah cantik satin, tapi ia memperjuangkan cintanya untuk membersamai orang yang dicintainya itu. Ia berhasil membersamainya dalam masa lima belas tahun hingga maut datang menjemput. Ia memang tidak tahu bahwa selama masa itu sang suami, Abu Utsman An Naisaburi, tidak pernah benar-benar mencintainya. Namun, Abu Utsman membuktikan bahwa ia adalah lelaki yang setia, tulus, sabar, dan senantiasa menjaga perasaan sang istri yang demikian tulus mencintainya. Bagi saya, semua hal itu adalah bagian dari cintanya, hanya saja bentuknya yang sedikit berbeda. Sungguh, saya sangat kagum dengan sepasang suami istri ini. Semua bermula tatkala si perempuan itu menyatakan dan memperjuangkan cintanya.
Ada pula kisah lain dari shahabiyah Rasulullah. Namanya Khansa’ binti Khaddam Al Anshariyah. Ia adalah salah seorang perempuan Madinah dari Bani Aus yang berstatus janda. Khaddam, sang ayah Khansa’, mengawinkannya dengan seorang lelaki yang juga berasal dari Bani Aus. Namun, ia tidak menyukai lelaki itu dan sebenarnya ia telah menyukai lelaki lain. Maka, berangkatlah Khansa’ menemui Rasulullah. Ia menceritakan kasus perselisihannya dengan sang ayah dan mengutarakan hasrat hatinya bahwa ia mencintai lelaki lain itu. Rasulullah pun memanggil sang ayah dan memerintahkan kepadanya untuk memberikan kebebasan kepada putrinya dalam memilih calon suaminya sendiri.
“Sesungguhnya,” tutur para imam hadits dalam kitab mereka, “Ayahnya menikahkan dia, sedangkan dia seorang janda maka ia tidak suka pernikahan itu, kemudian datang kepada Rasulullah. Maka Rasulullah menolak pernikahannya.” Hanya Imam Muslim yang tidak mencatat riwayat dari Khansa’ binti Khaddam Al Anshariyah ini.
Khansa’ binti Khaddam Al Anshariyah pun memilih. Ia memutuskan untuk meninggalkan perkawinan paksaan sang ayah dan menginginkan dinikahi oleh orang yang dicintainya. Dalam Shahifah Amru bin Syaibah, disebutkan bahwa lelaki itu terlebih dahulu meminang Khansa’ dan sudah diterima Khansa’. Nama lelaki itu adalah Abu Lubabah bin Abdil Mundzir. Ia adalah salah seorang sahabat utama yang menghadiri Bai’atul Aqabah kedua, ia adalah wakil Rasulullah di Madinah saat Perang Badar untuk menjaga keamanan dan ketertiban penduduk kota Madinah, anak-anak, kaum perempuan, kebun buah-buahan. Ia juga ditugasi untuk memberi makanan pada warga yang kelaparan dan memenuhi kebutuhan semua warga yang ada, baik anak-anak maupun orang tua sampai pasukan yang berada di jalan Allah itu kembali. Dengan lelaki mulia inilah Khansa’ menjatuhkan pilihannya, ia menikah dengan lelaki yang dicintainya. Ia menikah dengan lelaki yang diperjuangkannya hingga melibatkan keputusan Rasulullah atas pemaksaan sang ayah. Dari pernikahan mereka itu lahirlah seorang perempuan bernama Lubabah.
Pada Khansa’ binti Khaddam Al Anshariyah pula kita berterimakasih atas pelajaran penting tentang larangan pemaksaan menikah dari orang tua jika sang putri tidak menyukai calon suaminya. Dari Khansa’ pula kita belajar tentang hak-hak perempuan dalam syariat Islam dan menjalankan hidupnya sebagai bagian dari sistem struktur masyarakat madani. Semua bermula tatkala si perempuan itu menyatakan dan memperjuangkan cintanya.
Kisah hidup perempuan paling mulia di zamannya pun melakoni episode perjuangan cinta ini.
“Sebenarnya ia orang biasa,” kata perempuan mulia itu. Dr Thaha Husain menuliskan fragmen ini dalam saduran kisahnya yang dinukil oleh Saefulloh Muhammad Satori dalam Romantika Rumah Tangga Nabi. Perempuan mulia ini bernama Khadijah binti Khuwailid. Sedangkan orang yang dibicarakannya adalah Muhammad bin Abdullah yang kala itu berusia sekitar dua puluh lima tahun. “Saya kenal ibunya. Saya kenal ayahnya, dan saya turut hadir pada waktu ia baru lahir,” terangnya.
Dalam pandangan Khadijah, sosok Muhammad muda adalah sosok dengan kebaikan yang melimpah, kewibawaan lelaki, kepercayaan amanah, dan pesona jiwa yang tak mampu tersembunyikan oleh kerasnya hidup yang dilaluinya. Sebentuk empati pada Muhammad muda menunas di hatinya. Segala kabar miring yang pernah didengarnya dari orang-orang yang mengatakan bahwa kedudukan Muhammad hanyalah seorang penggembala kambing penduduk Mekah tertepis dengan sendirinya menyaksikan amanahnya pada lelaki itu terlaksana dengan gemilang.
Rasa empati di dalam hati Khadijah bertransformasi, lembut, lambat dan menumbuh pelan, pasti. Rasa empati itu semakin lama berbunga cinta. Ia merasakan perasaan manusiawi terhadap lelaki mulia yang menjadi pekerjanya itu. Dan seperti bentuk cinta jiwa lainnya, cinta yang dirasakannya menginginkan balasan dan penghalalan di singgasana pernikahan. Namun, ia masih merasakan keraguan di dalam dirinya untuk membersamai sang lelaki mulia itu. Sebelumnya, ia telah menikah dengan Atiq bin Aid bin Abdullah Al Makhzumi dan Abu Halah Hindun bin Zarrah At Tamimi. Bahkan ia telah memiliki putri yang sudah berada di usia nikah dan seorang putra lagi. Saat itu Khadijah berusia sekitar empat puluh tahun. Selisih usianya dengan Muhammad sekitar lima belas tahun.
Dalam kebimbangan itu, datanglah kawan karibnya yang bernama Nafisah binti Munayyah. Ia adalah kawan Khadijah dimana ia banyak mendengarkan keinginan-keinginan hati Khadijah. Dan kali ini termasuk tentang rasa cintanya terhadap Muhammad dan hasrat hatinya untuk menjadi istri dari lelaki yang dicintainya itu. Nafisah pun mengerti. Ia menawarkan bantuannya untuk menjadi utusan rindu antara Khadijah dan Muhammad.
Segera ditemuinya Muhammad. Ditanyalah lelaki mulia ini alasan-alasan mengapa ia belum juga menikah. Ia juga menjelaskan kepada Muhammad tentang keutamaan-keutamaan bagi orang yang menikah yang didampingi seorang istri yang setia. Muhammad muda termangu membayangkan idealisme yang dijabarkan nafisah dan realita yang dihadapinya di masa lalu dan kini.
“Aku tidak tahu dengan apa aku dapat beristri…?” jawab Muhammad dengan pertanyaan retoris.
“Jika ada seorang perempuan cantik, hartawan, dan bangsawan yang menginginkan dirimu, apakah engkau bersedia menerimanya?” tanya Nafisah balik.
Syaikh Shafiyurahman Al Mubarakfuri dalam Rahiq Al Makhtum menyebutkan bahwa Nafisah binti Munayyah bergegas menemui Muhammad muda dan membeberkan rahasia Khadijah tersebut dan menganjurkannya untuk menikahi Khadijah. Muhammad pun menyetujuinya dan merundingkan hal itu dengan paman-pamannya. Kemudian mereka mendatangi paman Khadijah untuk melamarnya bagi Muhammad. Pernikahan pun segera berlangsung dengan dihadiri oleh Bani Hasyim dan para pemimpin suku Mudhar. Muhammad menyerahkan mahar sebanyak dua puluh ekor unta muda.
“Muhammad,” kata Abu Thalib, sang paman, dalam Romantika Rumah Tangga Nabi, “Adalah seorang pemuda yang mempunyai beberapa kelebihan dan tidak ada bandingannya di kalangan kaum Quraisy. Ia melebihi semua pemuda dalam hal kehormatan, kemuliaan, keutamaan, dan kecerdasan. Walaupun ia bukan termasuk orang kaya, tapi kekayaan itu dapat lenyap. Sebab setiap titipan atau pinjaman pasti akan diminta kembali. Sesungguhnya Muhammad mempunyai keinginan khusus terhadap Khadijah binti Khuwailid, begitu pula sebaliknya…”
Tentu saja kisah cinta Khadijah – Muhammad adalah kisah yang sarat dengan hikmah dan berlimpah berkah. Dua orang mulia bertemu dalam singgasana pernikahan yang sama. Bergemuruh oleh kerja-kerja cinta di antara keduanya. Saling melengkapi di antara keduanya. Dan kematangan serta sikap keibuan Khadijah adalah energi gerak dan penenang jiwa tatkala sang suami memikul amanah langit dan menyampaikan dua kalimat keadilan. Penyiksaan psikis pun bisa dikikis oleh rasa kasih dan sayang Khadijah pada Muhammad, Rasulullah.
Kita tidak tahu apa yang akan terjadi seandainya Khadijah hanya berdiam diri menunggu takdir cintanya kepada Muhammad. Bisa jadi Rasulullah tetap akan meminang Khadijah. Namun, bisa jadi hal lain yang terjadi, yakni tidak terjadi apa-apa di antara keduanya. Dan tentu ceritanya akan lain jika Khadijah tidak menikah dengan Muhammad. Namun, sejarah cukup membuktikan bahwa takdir telah diciptakan oleh Khadijah dengan mengutarakan rasa cintanya melalui kawan karibnya, dan takdir ciptaannya itu pun berjodoh dengan takdir ilahi. Khadijah memang perempuan mulia, dan kemuliaannya itu tidak mengurangi kekuatan dirinya untuk memperjuangkan rasa cintanya. Dan cinta Khadijah – Muhammad pun mengabdi di langit jiwa sejarah manusia. Semua bermula tatkala perempuan mulia itu menyatakan dan memperjuangkan cintanya.
Kita seringkali tidak memahami bahwa kehidupan berjalan dalam siklus pilihan, keputusan, dan konsekuensi. Kisah-kisah hidup perempuan-perempuan ini memang berakhir bahagia dalam perjuangan cintanya untuk membersamai lelaki yang dicintainya. Namun, ada juga kisah yang tidak gemilang, bahkan berkesan coretan buram menghitam dalam sejarah perjuangan cinta, jika boleh kita sebut cinta. Mari kita simak kisahnya sebagaimana dituturkan Salim A Fillah dalam Jalan Cinta dengan menukil dari Raudhatul Muhibbin dan Taujih Ruhiyah.
Ini kisah tentang seorang gadis yang sebegitu cantiknya. Dialah sang bunga di sebuah kota yang harumnya semerbak hingga negeri-negeri tetangga. Tak banyak yang pernah melihat wajahnya, sedikit yang pernah mendengar suaranya, dan bisa dihitung jari orang yang pernah berurusan dengannya. Dia seorang pemilik kecantikan yang terjaga bagaikan bidadari di taman surga.
Sebagaimana wajarnya, sang gadis juga memendam cinta. Cinta itu tumbuh, anehnya, kepada seorang pemuda yang belum pernah dilihatnya, belum pernah dia dengar suaranya, dan belum tergambar wujudnya dalam benak. Hanya karena kabar. Hanya karena cerita yang beredar. Bahwa pemuda ini tampan bagai Nabi Yusuf zaman ini. Bahwa akhlaqnya suci. Bahwa ilmunya tinggi. Bahwa keshalihannya membuat iri. Bahwa ketaqwaannya telah berulang kali teruji. Namanya kerap muncul dalam pembicaraan dan doa para ibu yang merindukan menantu.
Gadis pujaan itu telah kasmaran sejak didengarnya sang bibi berkisah tentang pemuda idaman. Tetapi begitulah, cinta itu terpisah oleh jarak, terkekang oleh waktu, tersekat oleh rasa asing dan ragu. Hingga hari itu pun tiba. Sang pemuda berkunjung ke kota si gadis untuk sebuah urusan. Dan cinta sang gadis tak lagi bisa menunggu. Ia telah terbakar rindu pada sosok yang bayangannya mengisi ruang hati. Meski tak pasti adakah benar yang ia bayangkan tentang matanya, tentang alisnya, tentang lesung pipitnya, tentang ketegapannya, tentang semuanya. Meski tak pasti apakah cintanya bersambut sama.
Maka ditulisnyalah surat itu, memohon bertemu. Dan ia mendapat jawaban. ”Ya”, katanya.
Akhirnya mereka bertemu di satu tempat yang disepakati. Berdua saja. Awal-awal tak ada kata. Tapi bayangan masing-masing telah merasuk jauh menembus mata, menghadirkan rasa tak karuan dalam dada. Dan sang gadis yang mendapati bahwa apa yang ia bayangkan tak seberapa dibanding aslinya; kesantunannya, kelembutan suaranya, kegagahan sikapnya. Ia berkeringat dingin. Tapi diberanikannya bicara, karena demikianlah kebiasaan yang ada pada keluarganya.
”Maha Suci Allah”, kata si gadis sambil sekilas kembali memandang, ”Yang telah menganugerahi engkau wajah yang begitu tampan.”
Sang pemuda tersenyum. Ia menundukkan wajahnya. ”Andai saja kau lihat aku”, katanya, ”Sesudah tiga hari dikuburkan. Ketika cacing berpesta membusukkannya. Ketika ulat-ulat bersarang di mata. Ketika hancur wajah menjadi busuk bernanah. Anugerah ini begitu sementara. Janganlah kau tertipu olehnya.”
”Betapa inginnya aku”, kata si gadis, ”Meletakkan jemariku dalam genggaman tanganmu.”
Sang pemuda berkeringat dingin mendengarnya. Ia menjawab sambil tetap menunduk memejamkan mata. ”Tak kurang inginnya aku berbuat lebih dari itu. Tetapi coba bayangkan, kulit kita adalah api neraka; yang satu bagi yang lainnya. Tak berhak saling disentuhkan. Karena di akhirat kelak hanya akan menjadi rasa sakit dan penyesalan yang tak berkesudahan.”
Si gadis ikut tertunduk. ”Tapi tahukah engkau”, katanya melanjutkan, ”Telah lama aku dilanda rindu, takut, dan sedih. Telah lama aku merindukan saat aku bisa meletakkan kepalaku di dadamu yang berdegup. Agar berkurang beban-beban. Agar Allah menghapus kesempitan dan kesusahan.”
”Jangan lakukan itu kecuali dengan haknya”, kata si pemuda. ”Sungguh kawan-kawan akrab pada hari kiamat satu sama lain akan menjadi seteru. Kecuali mereka yang bertaqwa.”
Ah, perjuangan cinta si perempuan itu tampak nyata tidak indah. Memang benar ia orang yang romantis dan memiliki daya khayal yang tinggi serta kemampuan merangkai kata yang indah. Namun, semuanya berbau aroma syaitan dan nafsu. Kesucian cinta yang seharusnya ada di dalam hatinya dan mengejawantah di dalam laku juangnya ternyata tergerus oleh badai hawa nafsu. Selain persoalan ikhtilath yang terjadi di antara mereka, si perempuan itu tidak menunjukkan juang cintanya dalam bentuk yang halal. Semuanya di luar bingkai pernikahan. Begitu hitam dan memalukan yang mendengar kisahnya. Semua bermula tatkala si perempuan mulia itu menyatakan dan memperjuangkan cintanya.
“Di kota Kufah,” tulis Ibnul Qayyim dalam Raudhatul Mubibbin, “Ada seorang pemuda yang tampan sekali wajahnya, rajin beribadah, dan berijtihad. Suatu hari dia singgap di suatu kaum dari An Nakha’. Di sana pandangannya terpapas dengan seorang gadis yang cantik jelita dari kaum itu, sehingga dia langsung jatuh cinta kepadanya. Dia pun berpikir untuk menikahinya. Dia singgah di tempat yang lebih dekat dengan rumah gadis itu, lalu mengirim utusan untuk menyampaikan pinangan kepada ayah sang gadis. Namun, dia dikabari ayahnya, bahwa gadis itu sudah dipinang oleh anak pamannya sendiri.”
Lelaki shalih dan perempuan itu ternyata telah saling mencinta. Dan status si perempuan yang telah dipinang membuat mereka tidak bisa bersatu. Gelora cinta dan asmara begitu menggebu di antara keduanya. Tatkala si perempuan sudah demikian merasa berat, maka ia mengirim utusan kepada lelaki itu.
“Aku sudah mendengar tentang besarnya cintamu kepadaku. Aku pun sedih karenanya. Jika kamu mau, aku bisa menemuimu. Atau jika kamu mau, maka aku bisa mengatur cara agar kamu bisa masuk ke dalam rumahku,” kata utusan itu menirukan pesan si perempuan.
Lagi-lagi, pernyataan cinta dan perjuangan untuk dapat membersamai ini kembali dicoret dengan warna buram menghitam. Keindahan cintanya di antara sepasang manusia itu ternodai oleh niat yang tidak lempang. Terpesong dari jalan cinta rabbani. Namun, ada yang indah dari kisah ini. Tatkala mendengar tawaran dari si perempuan yang sedang mabuk kepayang oleh cinta itu, sang pemuda malah menjawab, “Tidak adakah pilihan di antara dua hal yang dicintai ini? Sesungguhnya aku takut azab hari yang besar jika aku mendurhakai Tuhanku. Sesungguhnya aku takut api neraka yang baranya tidak pernah padam dan tidak surut jilatannya.”
Mendengar jawaban dari lelaki yang dicintainya itu, si perempuan meluncur di titik balik. Ia tersadar atas khilafnya dalam perjuangan cinta yang ia lakukan. Ia sadar dan bertobat. Ia mengabdikan dirinya pada Allah dan hanya beribadah semata. Memisahkan diri dari keluarganya. Namun begitu, ia tetap tidak mampu memadamkan rasa cintanya dan kerinduannya kepada sang pemuda hingga meninggal dalam keadaan seperti itu. Mereka memang akhirnya tidak pernah saling membersamai dalam singgasana pernikahan, tapi masih terasa indah akhirnya. Kesucian diri dari maksiat atas nama cinta. Kisah serupa juga dialami oleh Abdurahman bin Abu Ammar yang dicintai oleh seorang perempuan Mekah yang menyatakan cintanya dan mengajaknya berbuat mesum. Namun, cintanya pada Allah menuntunnya tetap menjaga kesucian diri. Semua bermula tatkala si perempuan itu menyatakan dan memperjuangkan cintanya.
Memperjuangkan cinta bagi seorang perempuan adalah keputusan yang sulit. Di sana dibutuhkan keberanian yang berlipat-lipat dibandingkan dengan perjuangan cinta seorang lelaki. Ada adat, tradisi, dan karakter jiwa yang harus dilawan untuk mampu mengambil keputusan besar itu: memperjuangkan cinta. Rasa malu yang dimiliki perempuan dalam urusan cinta sangatlah mendalam. Oleh karena itu, Rasulullah menjelaskan bahwa kemauan seorang perempuan akan pinangan seorang lelaki adalah dengan diamnya, dalam arti tidak menolak, tanpa perlu mengiyakan dengan rangkaian kata-kata. Namun, kekuatan cinta memang dahsyat dan menggerakkan.
Dalam Shahih-nya, Imam Bukhari meriwayatkan bahwa ketika berada dalam sebuah majelis Rasulullah, seorang perempuan berdiri dan berkata kepadanya, “Ya Rasulullah, apakah engkau mau kepadaku?” Dalam kesempatan lain, perempuan yang lain datang pada Rasulullah dan berkata, “Wahai Rasulullah saya datang untuk menghibahkan diriku kepadamu.”
Hadits tentang perempuan yang pertama diriwayatkan oleh Tsabit Al Bunani dalam Bab Seorang Perempuan Menawarkan Dirinya Kepada Lelaki Shalih. Sedangkan hadits tentang perempuan kedua diriwayatkan dari Sahal bin Sa’ad. Meskipun kedua bentuk penghibahan diri perempuan ini adalah hal yang khusus bagi Rasulullah sebagaimana dicantumkan dalam Surat Al Ahzab ayat 50, tapi menawarkan diri untuk dinikahi lelaki shalih adalah hukum umum yang berlaku untuk semua lelaki shalih.
“Di antara kehebatan Bukhari di sini,” kata Ibnu Al Munir, sebagaimana dinukil Ibnu Hajar dalam Fathul Bari, “Adalah dia tahu bahwa kisah perempuan yang menyerahkan dirinya ini bersifat khusus. Maka, dia beristinbath (menyimpulkan hukum) dari hadits ini untuk kasus yang tidak bersifat khusus, yaitu diperbolehkannya seorang perempuan menawarkan dirinya kepada lelaki yang shalih karena menginginkan keshalihannya. Hal itu boleh dilakukan.”
“Hadits tadi memuat dalil bolehnya seorang perempuan menawarkan dirinya kepada laki-laki shalih. Perempuan itu juga boleh memberitahukan bahwa ia mencintai laki-laki tersebut karena keshalihannya, keutamaan yang dimilikinya, keilmuannya, dan kemuliannya. Sungguh ini bukan suatu perangai jelek. Bahkan, ini menunjukkan keutamaan yang dimiliki perempuan itu,” kata Imam Al ‘Aini.
Masih dari Fathul Bari, dalam Kitab Tafsir, diterangkan bahwa perempuan yang menawarkan diri itu adalah Khaulah binti Hakim, dan ada yang mengatakan Ummu Syarik atau Fathimah binti Syuraih. Dalam riwayat lain disebutkan bahwa perempuan itu adalah Laila binti Hathim, Zainab binti Khuzaimah, dan Maimunah bintul Harits.
“Dari hadits tentang seorang perempuan yang menyerahkan dirinya kepada Rasulullah ini,” kata Ibnu Hajar, “Dapat disimpulkan bahwa barangsiapa dari kaum perempuan yang ingin menikah dengan orang yang lebih tinggi darinya, tidak ada yang harus dirasakan malu sama sekali. Apalagi kalau niatnya baik dan tujuannya benar. Katakanlah, umpamanya karena lelaki yang ingin dia tawarkan itu mempunyai kelebihan dalam soal agama, atau karena rasa cinta yang apabila didiamkan saja dikhawatirkan dapat membuatnya terjerumus pada hal-hal yang dilarang.”
Bagi kebanyakan kita, mungkin juga termasuk saya dan Anda, jika mendengar seorang perempuan yang menawarkan diri untuk dinikahi oleh seorang lelaki shalih, mungkin kita akan berkata seperti yang dikatakan oleh putri Anas yang kala itu menyaksikan sebentuk perjuangan cinta itu, “Alangkah sedikit rasa malunya. Sungguh memalukan! Sungguh memalukan!”
Namun, saya lebih suka perkataan yang disampaikan oleh sang ayah, Anas, kepada putrinya itu, “Dia lebih baik daripada kamu. Dia mencintai Rasulullah, lalu dia menawarkan dirinya untuk beliau.”

Putri Pendeta Menjadi Daiyah

Aku tidak mengenal sedikitpun tentang Islam, bahkan selama hampir duapuluh tahun, sampai aku kuliah di jurusan informatika Universitas Timbell Philadelphia. Pertama kali aku melirik Islam berawal ketika beberapa dosenku menyampaikan informasi tentang Islam. Mereka menggambarkan bahwa Islam adalah agama yang merusak (destruktif). Hal ini menggugahku untuk lebih banyak membaca literatur tentang Islam. Setelah aku mengkajinya ternyata aku dapati semua itu hanyalah tuduhan palsu, zalim dan penuh kebencian. Akupun segera –tanpa ragu– menyatakan diri masuk Islam. Sejak itu aku ganti namaku menjadi Laila Ramzy.
Aku dilahirkan di New England pada bulan Januari tahun 1959, Ayahku seorang pendeta yang mengabdi di sebuah gereja. Sudah lama aku banyak meragukan gereja, terlebih setelah Ayahku ingin agar aku menjadi misionaris. Akan tetapi Allah SWT menghendakiku sesuatu yang lebih baik dan kekal. Sementara sejak kecil aku sama sekali tidak mengenal tentang Islam. Hal ini terus berlangsung hingga usiaku 20 tahun dan mulai melanjutkan kuliah di  Universitas. Di samping itu aku juga mendapat kuliah tambahan tentang strategi politik wilayah Timur Tengah, ternyata kuliah ini menjadi pintu kebaikan dan kebahagiaan untukku.
Dari mata kuliah itu aku banyak mengetahui tentang negara-negara Arab-Islam. Ternyata apa yang aku dapatkan sebelumnya informasi tentang Islam sangat jauh dari kenyataan. Karena sejak 1400 tahun yang lalu Islam telah mewarnai kehidupan sosial politiknya dan telah mengukir sejarahnya dengan gilang genilang. Aku bertanya kepada diriku, “Anda lihat mengapa mereka sengaja mendelete Islam dan menjauhkan para mahasiswa dari pemahaman yang benar terhadap Islam?” Dampaknya para mahasiswa menganggap Islam sebagai agama yang berbahaya bagi struktur pemahaman dunia Barat umumnya dan bagi pemikran kaum muda Nasrani khususnya.
Meskipun ditentang oleh Ayahku, aku mulai terus membaca literatur tentang Islam. Sehingga aku dapatkan prinsip-prinsip agama yang agung ini menghunjam dalam hatiku dan mendomonasi pikiranku. Aku mulai memahami akidah Tauhid dan meyakini bahwa Isa adalah manusia biasa seperti Musa, Ibrahim, dan Muhammad. Aku juga mulai mengerti bahwa khamr, zina, dan, judi adalah sesuatu yang diharamkan. Hal ini amat kontras dengan kehidupan yang berlangsung di Eropa dan Amerika. Akupun mulai semakin banyak mempelajari ibadah dalam Islam; seperti shalat, puasa, zakat, dan haji bagi yang mampu.
Aku mulai mengumumkan keislamanku. Meskipun ayahku marah dan sedih aku memutuskan untuk pergi ke Mesir agar bisa hidup di sana bersama umat Islam. Di sanalah aku mempelajari Al-Qur’an lebih dalam. Di Kairo aku juga bertemu dengan pemuda muslim yang memiliki komitmen kuat dengan agamanya, ia menawarkan dirinya untuk menikahiku, akupun menerima dan menyetujuinya, dan perkawinanku dengannya telah berlangsung dua tahun. Allah telah menganugrahkan kepadaku seorang anak yang kuberikan nama islami, Toha. Aku berdoa kepada Allah Azza wa jalla agar ia tumbuh menjadi anak yang baik, dan menjadi penyedap pandanganku dan suamiku.
Laila berkeinginan untuk meneruskan studi Islamnya, menghapal Al-Qur’an dan hadits nabi agar memperoleh maslahat dari pengetahuan dan wawasannya yang sahih.
Disadur dari kitab At-Taa’ibuuna ilallah, Syaikh Ibrahim bin Abdillah Al-Hazimy.

Rabu, 02 Februari 2011

Saat Pedang Musuh Ada di Tanganmu, Apa yang Kau Lakukan?


Hari ini tanggal 9 Rabiul Awal. Tahukah engkau apa yang terjadi pada hari ini 1430 tahun yang lalu? Saat itu dua orang yang telah menempuh perjalanan selama satu pekan dengan didahului menginap di sebuah gua yang gelap beberapa hari, tiba di sebuah daerah yang bernama Quba. Mereka berdua adalah Rasulullah dan sahabatnya, Abu Bakar.

Tapi tulisan ini ingin mengajak kita pada fragmen sebelumnya. Sekitar empat hari sebelum itu... Tampak dari kejauhan sesosok laki-laki menunggang kuda dengan kecepatan tinggi hendak menyusul mereka. Dari kejauhan juga kelihatan samar-samar bahwa ia membawa pedang. Siapa dia? Ada maksud apa gerangan?

Mungkin saat itu Abu Bakar cemas sebagaimana kecemasannya tatkala berada di gua tsur dan orang-orang berada di atas mulut gua, sekali saja mereka melihat kaki sendiri niscaya akan tahu bahwa dua orang target mereka ada di gua itu, namun Allah menyelamatkan mereka berdua. Lalu sekarang? Penunggang kuda itu terus mendekat dan kian dekat, tinggal beberapa meter lagi. Namun...

Kuda yang ditumpanginya terjatuh. Ia pun ikut terjatuh padahal pedang sudah siap di tangan untuk menebas Rasulullah. Ternyata ia adalah Suraqah. Ia berusaha bangkit dan kembali mengejar Rasulullah. Lalu, tinggallah beberapa langkah untuk menyusul dan menyabetkan pedangnya, namun kudanya kembali terjatuh. Sampai ketiga kalinya, kudanya benar-benar terbenam bersamaan dengan itu terkubur pula ambisi Suraqah untuk membunuh Rasululullah oleh bongkahan-bongkahan besar ketakjubannya pada kekuatan yang melindungi Rasulullah. Terkikis sudah ambisi untuk memenangkan sayembara berhadiah 100 onta oleh kekagumannya akan kekuasaan Dzat yang senantiasa menolong Rasulullah.

Kini kemenangan itu telah ada pada Rasulullah dan sangat mudah bagi beliau untuk membunuh Suraqah. Pedang musuh telah ada di tangan, apa yang hendak engkau lakukan? Tapi, ini adalah Rasulullah, manusia teragung dengan akhlaq adzimah. Maka, ia memaafkan Suraqah begitu saja.

Selain merupakan cahaya akhlaq adzimah yang membuat iri para malaikat dan mengundang decak kagum setiap orang, sikap ini berbuah kemanfaatan bagi strategi dakwah. Apa itu? Di belakang Suraqah telah bersiap-siap sejumlah orang mengejar Rasulullah dan membunuhnya karena tergiur hadiah 100 onta. Andaikan saat itu Suraqah dibunuh, tentu orang-orang itu tetap berangkat dan siap 'bertempur' memenangkan sayembara. Namun, takdir Allah mendahului mereka.

Sebelum mereka menghentakkan tali kekang kudanya, Suraqah telah mendatangi mereka. Saat mereka sadar bahwa Suraqah baru saja mengejar Muhammad, mereka pun bertanya: “Apakah kau melihat Muhammad atau berhasil menemuinya” Suraqah menjawab dengan penuh keseriusan “Demi Allah, aku tidak menemukan siapapun di sana, padahal aku telah menelusuri segala medan gurun pasir. Lebih baik urungkan saja niat kalian!” Mereka pun membatalkan rencananya dan melupakan 100 ekor onta yang dijanjikan.

Gerakan amal islami sekarang juga bisa saja menghadapi ancaman yang datang dari musuh dakwah. Lalu ketika kita berhasil mematahkan upaya makar mereka, bahkan kekuasaan itu ada ditangan kita, apakah kita akan meniru Rasulullah? Semoga! [Muchlisin]

Saat Dakwah Sampai ke Militer dan Polisi

Hari ini untuk kesekian kalinya, aku ke Masjid Jami' di sebuah kecamatan di Kabupaten Gresik. Ada pemandangan baru yang belum pernah kujumpai sebelumnya. Jamaah shalat Asar ini lebih dai 60%nya adalah bapak-bapak bercelana coklat tua dan baju yang khas atau kaos bertuliskan “POLRES GRESIK”. Ya, mereka adalah para polisi. Seusai shalat aku sempatkan bertanya pada salah seorang diantara mereka: apakah terkait dengan program Kapolda Jatim yang baru.

Sebagaimana diberitakan oleh banyak Media, kini wajah kepolisian Jawa Timur memang mulai berubah seiring pergantian Kapoldanya. Kapolda yang baru, Brigjen Pol Anton Bahrul Alam, terkenal sebagai seorang yang religius, gemar shalat jama'ah, membiasakan qiyamullail, dan berdakwah. Maka, misi mulia inipun ditransformasikan dalam tubuh institusinya dengan program-program keagamaan yang akan berefek pada perbaikan citra dan kinerja polisi.

***
Adalah sebuah catatan sejarah yang terjadi di hampir semua tempat, bahwa militer dan polisi kerap menjadi tantangan dakwah di berbagai negara, khususnya saat dakwah berusaha masuk dalam orbit kenegaraannya, mihwar dauli. Maka kita melihat begitu beratnya perjuangan Ikhwanul Muslimin di Mesir untuk bisa memenangkan dakwah di level ini dan memasuki mihwar dauli. Meskipun mayoritas ilmuwan dan lembaga profesi telah menjadi bentuk lain dari transformasi Ikhwan, dakwahnya belum juga diterima dan menuai kemenangan secara formal struktural. Walaupun kita bahkan sangat sulit mencari lembaga profesional yang tidak berafiliasi dengan ikhwan, toh masih ada tembok tebal yang menghalangi dakwah ikhwan dari pemerintahan. Dan tembok tebal itu adalah militer.

Di Turki, meskipun AKP (Adalet ve Kalkınma Partisi) di bawah pimpinan Recep Thayyib Erdogan berhasil memenangi pemilu dan menjadi penguasa pemerintah, tidak serta merta dakwah mampu mendeklarasikan diri untuk mengejawentahkan nilai-nilai Islam secara integral di sana. Lagi-lagi ada tantangan besar yang memposisikan dirinya sebagai penjaga sekularisme, dan itu juga militer.

Belum lagi sejarah panjang konflik militer – dakwah di berbagai negara di dunia, termasuk Indonesia.

Maka, yang kemudian harus menjadi kesadaran bersama bagi institusi dakwah adalah bagaimana dakwah ini -di samping menjaga keberhasilannya dalam aspek lain- bisa masuk ke dalam institusi militer dan kepolisian. Mengapa? Tentu yang pertama adalah bahwa mereka juga bagian dari umat manusia yang berhak mendapatkan dakwah seperti entitas lainnya. Bukankah dakwah Islam adalah dakwah yang syamil mutakamil? Bukankah Islam adalah Din yang rahmatan lil a'alamin? Di sini, tantangan internal pertama yang harus kita singkirkan adalah persepsi bahwa militer tidak bisa didakwahi sebab doktrin nasionalismenya telah menghilangkan cita rasa religiusnya. Persepsi ini harus dihilangkan, tapi bukan berarti hilang kewaspadaan. Artinya, mereka para dai yang diterjunkan ke sana haruslah orang-orang yang kuat, yang tidak kemudian justru terwarnai oleh doktrin sekuler, atau bahkan menjadi intel yang kontraproduktif bagi dakwah.

Kedua, militer dan kepolisian yang terdakwahi justru akan menjadi akselerator bagi keberhasilan dakwah. Sebaliknya, meskipun dakwah Islam mampu menyemai nilai-nilainya pada unsur bangsa yang lain, ia bisa diperlemah, dihambat, atau “dikudeta” oleh militer yang merasa “dikhianati”. Terlebih ketika dakwah memperoleh “kemenangan tipis” lalu terjebak pada “isti'jal” untuk sesegera mungkin merealisasikan cita-citanya dalam konteks negara.

Ketiga, mereka, khususnya kepolisian adalah institusi yang jika "digarap" dengan serius akan menjadi lembaga penegak nahi munkar yang paling efektif. Bersama dengan Satpol PP mereka akan menjadi perpanjangan tangan dakwah dalam hal pencegahan sekaligus penanganan kemaksiatan dan tindak pidana. Bukankah inti dakwah adalah amar ma'ruf nahi munkar? Dan bukankah jika kemunkaran seperti judi, prostitusi, miras, narkoba dan sebagainya adalah musuh dakwah. Jika polisi dan Satpol PP yang bergerak memberantas kemungkaran itu dengan payung konstitusi, adakah masyarakat yang "membenci" dakwah sebagaimana "ketidaksukaan" mereka pada lembaga dakwah seperti FPI sekarang?

Keempat, militer dan kepolisian adalah alat pertahanan negara. Militer memiliki kekuatan yang tidak dimiliki oleh institusi lain. Kekuatan ini bisa menjadi penghalang dakwah, manakala ia tidak lebih dahulu diwarnai oleh dakwah ini. Kekuatan ini juga -setelah terwarnai dakwah- yang akan menjadi kekuatan yang menjaga stabilitas internal dan melindungi negara jika dakwah mendeklarasikan dirinya sementara kekuatan asing hendak menjatuhkannya. Lebih dari itu, merekalah yang akan menjadi kekuatan utama bagi amal jihadi.

Akhirnya, dakwah memang harus menyebar ke semua lapisan. Militer dan kepolisian adalah salah satunya. Konsekuensinya, di samping seluruh elemen dakwah saat ini berusaha memenangkan dakwah dalam ranah politik untuk kemudian memasuki mihwar dauli, para qiyadah dituntut untuk menghadiahkan dakwah ini pada jajaran militer dan kepolisian sesuai dengan levelnya masing-masing.

Jika satu orang kapolda bisa berbuat begitu banyak, maka saat dakwah tersebar di seluruh jajaran kepolisian dan militer sungguh nuansa islami yang rahmatan lil 'alamin akan telihat di seluruh pelosok negeri. Jika satu mantan pejabat polri bisa menggerakkan simpati sekian banyak warga ibukota, maka saat dakwah ini mewarnai seluruh lapisan kepolisian dan militer, saat itu kita akan melihat hasil akhir yang pernah disampaikan Hasan Al-Banna “Berikan kepadaku Al-Azhar, pemuda dan militer; maka akan kutaklukkan dunia bersama mereka” [Muchlisin]

Iklan

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites