.

.

Muhammad : 7

Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik [Al-Imran : 110]

As-Shof : 4

Sesungguhnya Allah menyukai orang yang berperang dijalan-Nya dalam barisan yang teratur seakan-akan mereka seperti suatu bangunan yang tersusun kokoh.[As-Shof : 4]

Bergerak atau Tergantikan

“Teruslah bergerak, hingga kelelahan itu lelah mengikutimu.Teruslah berlari, hingga kebosanan itu bosan mengejarmu.Teruslah berjalan, hingga keletihan itu letih bersamamu.Teruslah bertahan, hingga kefuturan itu futur menyertaimu.Tetaplah berjaga, hingga kelesuan itu lesu menemanimu.”

Hidup Mulia atau Mati Syahid

Ketika Kau Lahir di Dunia dengan Tangisan, Dunia Gembira Riang Menyambutmu. Ketika Kau Gugur sebagai Pahlawan, Dunia Mengangisimu, Namun Ruhmu gembira menyambut Syurga-Nya

Kita adalah Penyeru

Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik [Al-Imran : 110]

Rabu, 23 Januari 2013

Realita Sebagian Alumni Rohis Sekolah

Ketika ana sedang makan siang di warung nasi dekat kampus IPB Dramaga, tiba-tiba ada seorang laki-laki/ikhwan yang memanggil ana (padahal belum kenal sama sekali)

Dia bilang :
"Akh, antum alumni Rohis ya?" (mungkin karena ana pakai Jaket Rohis)

"Ya, antum juga?"

"Iya, ana alumni Rohis di SMA 1 Cibungbulang Bogor, ana sudah dari tahun 2008 di sekolah sampai sekarang"

Ana pun heran, kok bisa lama sekali?

"Dia pun menjawab, "Ya, akh. Karena alumni tidak ada yg turun lagi. Ana harus menanggung amanah ini, memegang rohis 3 ANGKATAN.. kelas 1,2, dan 3... Semua mentoring ana pegang... Kalau bukan ana, siapa lagi akh? Alumni yg lain pada sibuk di kampus dan amanahnya...."

"Ana juga pernah kerja di Jakarta selama 2 tahun setengah, namun ana juga sering bolak-balik ke sekolah selama ana kerja di jakarta... Tapi ana memutuskan untuk kembali ke bogor, supaya lebih mudah untuk ke sekolah"

"Ada yang sering silaturahim dengan Rohis, tapi hanya sekedar menanya kabar Rohis"

"Ada yang sering memberi Ide, tapi tidak pernah datang"

"Dan masih banyak lagi"


Ana bertanya kembali :
"Memang antum tidak ada kesibukan akh?"

"Ana sih sekarang hanya kerja saja, setiap Jum'at ana libur (meminta kepada pihak tempat ana bekerja untuk libur di hari itu, karena kalau minta libur hari sabtu, anak-anak rohis tidak ada yang datang).
Jadi ana mengisi mentoring di Rohis sekolah setiap jum'at itu.... Selain itu ana kerja dan kuliah malam"

(Bagaimana dengan kita ya??)

"Kalau dibiarkan kosong, pasti rohis tidk ada yang megang. di Di Bogor, kita sering gesekan  NII / JIL / dan aliran-aliran yg ekstrem... Kalau kita lengah, mereka akan masuk...

"Kalau di Bogor Kota, Rohis-nya lebih tertata dan sudah bagus...
yg mengkhawatirkan di Bogor Kabupaten akh...." katanya.

Lalu dia bertanya kepada ana :
"Antum bagaimana akh? Masih sering ke Sekolah? Bagaimana kondisi disana?"

(Dengan wajah bingung dan tak berdaya, ana tak dapat menjawabnya dengan pasti)

"Ya Allah... Maafkanlh hamba-Mu ini...."

Begitupun dengan beberapa Rohis yang ada di Jakarta (tempat dulu ku berjuang)... Di SMA 79, seorang alumni harus berjuang memegang Rohis lebih dari 5 tahun... memegang Mentoring kelas 1,2,3 seorang diri... Padahal dia memiliki keluarga, anak, pekerjaan, dan kesibukan lainnya...

Bagaimana dengan kita sebagai Alumni Rohis??

"Seonggok kemanusiaan terkapai, siapa yang bertanggung jawab menanggungnya? Bila semua menghindar, biarlah SAYA yang menanggungnya. Semua atau Sebagian...." (Ust. Rahmat Abdullah)

_Bogor, 21 Januari 2013_
_Warung Nasi Babakan Raya_

Sabtu, 19 Januari 2013

Kejutan Tak Terduga untuk Teman LDK


Oleh : Rayhan

Sore itu seperti biasa aku dan teman-teman di LDK sedang melakukan rapat kegiatan di kampus. Sore itu juga banyak wajah-wajah dari para anggota rapat yang masih terlihat basah. Wajah tersebut basah bukan karena suasana rapat yang panas karena adanya perdebatan, melainkan wajah mereka basah karena air wudhu sehabis shalat Ashar yang mana menurutku memang tepatlah waktu ashar ini, dimana kami sebenarnya merasa suntuk mendengarkan perkuliahan selama seharian. Walaupun begitu lelah, banyak juga diantara kami yang masih menunjukan mata yang berbinar ketika dosen berbicara didepan.

“Jadi apakah ada lagi yang ingin disampaikan oleh ketua seksi acara untuk rapat kali ini?” tanya Fadhli padaku sambil melihat reaksiku karena dari tadi melamun. Aku memang banyak melamun akhir-akhir ini karena ada skripsi yang harus ku kerjakan, akan tetapi berhubung aku adalah ketua seksi acara untuk kegiatan kali ini maka sudah tentu Fadhli mengingkan agar kami semua lebih konsentrasi dengan acara yang sedang kami geluti.

“Mm… Iya ada, mengenai mengenai dana, jangan lupa! Pastikan dana dari acara yang kemarin sama Akh Zulfani masih tersisa, sehingga kita masih bisa menggunakan dana yang kemarin untuk keperluan pembiayaan acara nanti” jawabku refleks. Saat ku lirik Akh Zulfani hanya mengangguk pasti kearahku. “Okeh, kayaknya semua sudah setuju kan? Nanti sehabis ini bagian notulensi ketik hasil rapat terus dipajang ya, biar yang lain bisa langsung baca tugas dan jobdesk setiap divisi. Oh, iya sebelum ditutup ada yang ingin bertanya mengenai acara besok? Kalau gak ada yang nanya berarti udah pada ngerti ya, dan rapat akan segera ditutup” sekali lagi fadhli menjelaskan dan memberikan kesempatan kepada panitia yang lain untuk bertanya mengenai acara ini.

“Baiklah karena gak ada yang nanya lagi mungkin sudah mengerti, dan secara otomatis pernyataan tadi mengakhiri pertemuan kita, maka kurang lebih mohon maaf, wa billahitaufiq wal hidayah, Wassalamu’alaikum warrahmatullahi wabarrakatuh.” Tutup Fadhli dengan mantap. Selesai rapat Fadhli datang menemuiku, dan bertanya “Wah, Ente tadi kenapa Akh? Kok kebanyakan melamun? Lagi ada masalah ya?” “Hehehe enggak kenapa-napa kok.

Eh, tadi Ukh Afifah dan Zahrah kemana? Perasaan tadi masih sempet liat deh pas permulaan rapat?” tanyaku mengalihkan permbicaraan. “Loh kok jadi ngebicarain mereka?” tanya Fadhli kepadaku. “ Iya ane kan Cuma nanya kenapa tadi mereka kok gak keliahatan” aku membela diri, dan sekaligus mengutuk diriku sendiri, kenapa harus mengalihkan pembicaraan ke arah kedua Akhwat tadi. “Ente kena VMJ ya?” sekali lagi Fadhli bertanya. “Apaan tuh VMJ? Makanan?” gantian sekarang aku yang bertanya. “VMJ itu virus merah jambu.

Hati-hati loh, biasanya aktivis dakwah banyak yang kena” ujar Fadhli sambil mengingatkanku, yang langsung kubalas dengan isyarat tidak. Temanku Fadhli yang satu ini memang sangat sering mengingatkan dan mengajakku kepada kebaikan tak banyak orang yang begitu dizaman sekarang. Ah, mungkin aku terlalu banyak berhutang kepadanya dalam ber ‘fastabikhul khairat’ batinku. Sayangnya sesaat sebelum kami berpisah, aku hanya mampu berterima kasih sambil menyengir kepadanya, lalu dengan ucapan salam kami berpisah dijalan. Setelah perpisahan tadi aku menuju ke parkiran motor, lalu menggas sepeda motorku untuk segera pulang menuju tempat kost, karena aku sore ini ada Liqo dengan Ust. Salim. ****

Tiga hari semenjak rapat dilangsungkan aku lebih banyak menyibukkan diriku dengan skripsi yang sebentar lagi akan menuntut untuk diselesaikan. Walau masih ada waktu 1 semester lagi, aku lebih memilih untuk menyelesaikannya sekarang, karena dengan begitu aku akan memiliki lebih banyak waktu luang pikirku.

“Drrt.. Drrt.. Drrt” tiba-tiba saja handphone ku bergetar, memberikan tanda bahwa ada sebuah sms yang masuk “Maaf teman-teman. Sepertinya acara yang akan kita laksanakan akan kita undur terlebih dahulu, berhubung salah satu dari panitia akan ada yang melangsungkan pernikahan” Aku perhatikan sekali lagi, isi dari sms. Mungkin aku salah baca. Sms tersebut tidak berubah. Aku lihat pengirimnya, Akh Fadhli. Tanpa harus disuruh aku langkahkan kaki ku menuju sekret LDK, karena biasanya temanku Fadhli sering disana, terlebih kami baru memindahkan sekret keruangan yang baru dan sedang menata ulang ruang sekeret yang baru saja dipindahkan.

“Assalamu’alaikum” salamku ketika masuk. “Waalaikum Salam” terdengar suara salam kompak yang tanpa dikomando terucap dari teman-temanku, tak kusangka ternyata hari banyak anggota yang berkumpul diruangan yang baru. “Masuk-masuk ayo gabung disini” kali ini Ismail ketua umum LDK fakultas lah yang menyambut dan mengundangku masuk. Dengan sedikit tampang kebingungan aku pun mulai memberanikan diri bertanya kepada temanku tersebut. “Wuiidih, lagi apa nih? Kok tumben ya ruangannya jadi penuh begini hehehe…” tanyaku sambil mencari Fadhli, dan kulihat ia ternyata juga berada disitu bersama yang lain.

“Enggak, ini kita lagi ngobrol-ngobrol aja karena dapat undangan dari salah seorang Akhwat yang juga merupakan pengurus LDK. Ia akan segera melangsungkan pernikahannya dua hari lagi dan sepertinya acara yang sudah dibuat untuk pelatihan ESQnya bisa diundur, tadi juga sudah sempat dibicarakan dibelakang dengan Akh Fadhli” ucap Ismail sambil melihat kearah Fadhli. Aku lihat reaksi Fadhli, ia hanya mengangguk.

“Ngomong-ngomong yang akan menikah itu siapa” kembali aku bertanya, namun kali ini aku langsung menanyakannya kepada temanku Fadhli, sambil berharap kali ini ia tidak akan bertanya macam-macam “Yang akan menikah itu Ukhti Zahrah kemarin Ukhti Afifah yang ngasih tau lewat HPnya Akh Ismail. Mungkin karena alasan itulah ketika rapat yang lalu ia meminta izin pulang” ujar Akh Fadhli menjelaskan. Aku hanya manggut-manggut tanda mengerti, dan sepertinya obrolan kami hari ini tak akan jauh dari hadiah, makan-makan dan ucapan apa yang akan kami berikan dan satu obrolan lagi, yaitu siapakah calon suami yang beruntung menikahi Ukhti Zahrah . ****

Sudah empat hari semenjak pernikahan Ukhti Zahrah. Kini aktivitas kami lebih kearah menyiapkan agenda kegiatan yang akan dilaksanakan seminggu lagi. Persiapan acara kami telah matang, dan sejujurnya baru kali ini aku benar-benar merasa kelelahan dengan aktivitasku. Sempat kulihat juga dikampus Ukhti Zahrah sudah melakukan aktivitas dikampus seperti biasa, namun kali ini dengan wajah lebih cerah atau mungkin hanya perasaanku.

Hari itu kami kembali rapat mengenai peserta ESQ yang kelebihan quota. Apakah mungkin jika peserta ditambah lagi. Berhubung peminat ESQ sepertinya sangatlah banyak dan tempat masih tersedia dan dana cukup melimpah, maka diputuskanlah di rapat kali ini bahwa quota peserta training bisa ditambah hingga sepuluh orang lagi dan dibuat kedalam dua gelombang training yang tentu dalam rentang waktu yang berbeda. Selesai dari rapat, Ukhti Zahrah sempat diberikan waktu untuk berbicara sebentar.

Dalam pembicaraan tesebut ia bermaksud untuk mengundang seluruh anggota pengurus LDK untuk menghadiri walimah dari pernikahannya, dan pada kesempatan itu juga ia meminta maaf bahwa surat undangan tidak bisa diberikan, akan tetapi sebagai gantinya ia membawa pin khusus yang bergambar mawar putih. Pin ini nanti dipakai oleh pengurus LDK kampus kami dan dibawa ketika akan menghadiri pesta pernikahannya sebagai tanda bahwa mereka adalah tamu spesial. Dan sejujurnya bagi Akh Ismail dan para pengurus yang lain itu bukanlah masalah. Sayang dalam pertemuan dan pembicaraan yang singkat itu, Ukhti Zahrah tidak memberikan nama ataupun clue siapakah suaminya. hari itu juga para pengurus LDK dibuat penasaran. ****

Pagi sekitar jam setengah tujuh sesuai dengan sms undangan yang diucapkan oleh Ukhti Zahrah, kami sepengurus LDK pergi menuju tempat walimah. Selama diperjalanan kami lebih banyak bercanda sehingga suasana lebih terasa cair dari biasanya. Tiba-tiba saja aku merasa gugup, dan sebisa mungkin untuk tidak menampakannya di hadapan pengurus LDK yang lain. Sesampainya di tempat yang dituju, kami melihat prosesi walimah yang berlangsung. Walimahnya tidak terlalu mewah bahkan terkesan sederhana. banyak dari kami yang mengambil posisi duduk di daerah tengah pinggir kanan dari tempat yang sudah disipakan, tampak juga undangan yang hadir baru beberapa.

Tampak juga Ust. Salim datang mengikuti walimah beserta Istrinya. Acara tampaknya sudah dimulai, karena Ukhti Zahrah sudah keluar dengan pakaian terbaiknya, sebuah pakaian berwarna biru muda yang tak menghilangkan esensi menutup aurat dikenakan olehnya. Lucunya banyak diantara kami yang sudah tak sabar ingin melihat siapakah calon suami Ukhti Zahrah. Karena Ukhti Zahrah adalah Bintang kampus kami.

Menurut kabar yang beredar IPnya tak pernah kurang dari 3,7. Selain itu banyak yang mengakui dia cantik dan hampir tak pernah berbicara dengan ikhwan jika tak ada kepentingan yang sangat mendesak. Tak terasa sudah lima menit kami menunggu, dan belum terlihat tanda-tanda kemunculan dari suami Ukhti Zahrah. Lama setelah menunggu ada perasaan sesak yang memenuhi di dadaku. Tak ada yang sadar aku berjalan mendekati pelaminan. Disitu aku melihat Ukhti Zahrah sempat manatap ku dan kembali menundukan mukanya. Tiba-tiba ada rasa takut, sebuah rasa kehilangan yang coba berbicara yang mencoba menyadarkanku bahwa aku menyukainya.

Betapa selama dua tahun belakangan aku harus berbohong menutupi hatiku. Kini dadaku semakin sesak. Berbagai kejanggalan yang kutunjukan ternyata terperhatikan oleh temanku Fadhli. tak terasa sudah dua kali Fadhli mencoba untuk memanggil namaku, sepertinya kakiku dan kesadaranku tak menghiraukan panggilannya.

Aku mencoba semakin mendekat, namun sebelum terlalu dekat Ukhti Zahrah berdiri dan berkata kepadaku, “Maaf, Akhi. Jangan mendekat lagi” dengan suara sedikit kencang tertahan. Aku berhenti sejenak. Aku mencoba menatapnya semakin dalam. Aku merasa ada yang lain ketika ia memandangku. Saat itu Ukhti Zahrah mulai menangis dan terisak. “Jangan menatapku seperti itu.” isaknya kepadaku Aku tak mengerti, ada dorongan lain sehingga aku berani mencoba memegang dan mengambil tangannya.

Ukhti Zahrah kaget, dengan reflek ia mencoba mengambil lagi tangannya yang sudah ku pegang, namun tak bisa. Cengkraman ku terlalu kuat. Banyak dari para undangan kaget melihat kejadian yang aku timbulkan.

Tak ketinggalan teman-teman satu LDK berdiri melihat tingkahku yang tidak biasanya. “ABDUH! JAUHKAN TANGAN KOTORMU DARI ISTRI ORANG” tiba-tiba saja temanku Fadhli berteriak menegangkan suasana.

Pengurus LDK yang lain juga terlihat geram. Suasana menjadi panas. Orang tua dari Ukhti Zahrah menampakan reaksi bingung dengan muka kemerahan, yang mungkin menahan malu. “ABDUH SADAR. MANA RASA MALU ENTE? ENTE PENGURUS LDK, NGAPAIN ENTE DISITU” teriak Fadhli sekali lagi.

Sepertinya suasanya semakin kacau, hadirin mulai ribut. Ditengah keributan suasana yang tak kondusif, tiba-tiba Ukhti Zahrah memeluk ku, dan menangis sesenggukan. Kontan suasana menjadi semakin tak karuan. Orang tua Ukhti Zahrah sudah tak tahu pergi kemana.

Sementara temen-temen LDK tak ada yang berani berbicara karena, perbuatan yang dilakukan oleh Ukhti Zahrah tak jauh berbeda denganku “Maafkan Aku Akh, Aku juga menyukaimu” jawab Ukhti Zahrah dengan jujur.

Hal yang tak kusangka sebenarnya ia juga menyukaiku sama seperti aku menyukainya. Beberapa hadirin membicarakan apa yang baru saja terucap, tak ketinggalan tampak emosi teman sepengurus LDK bercampur aduk karena ucapan tadi. Kali ini Fadhli berusaha tenang dan perlahan menuju tempatku.

Tampak sekali mukanya menunjukan sedih dan juga kecewa dengan kelakuan kami hari ini. “TAHAN” seru Ust. Salim kepada temanku Akh Fadhli. “Sebelum ada yang melakukan tindakan tidak diinginkan, maka saya sedikit ingin menjelaskan bahwa sebenarnya Akh Abduh dan Ukhti Zahrah itu sudah berstatus suami istri.” Wajah-wajah tegang itu masih belum percaya.

“Baik hadirin maupun teman-teman se-LDK sengaja tidak ada yang diberitahu karena ini akan menjadi salah satu kejutan yang memang sudah direncanakan oleh saudara kita Akh Abduh. Mereka menikah lewat tangan saya sendiri baik dokumentasi, surat, serta foto juga masih saya pegang” Ujar Ust. Salim mencoba mengembalikan suasana. Tak perlu dikomando suasana secara perlahan mulai kembali menjadi normal. Meskipun begitu masih ada saja tamu dari undangan yang baru datang bertanya mengenai keributan tadi. Senyuman penuh arti mulai terlihat dibibirku, begitu juga dengan Istriku Ukhti Zahrah. Aku mencoba melihat kearah temen-temen seperjuanganku, dan hadirin. Tampak disitu ada wajah-wajah lega dan wajah-wajah yang cemas. Sepertinya rencanaku hari ini berhasil. Tampak juga atmosfer suasana mulai kembali normal dan berjalan seperti yang sudah direncanakan. ****

Seminggu yang lalu Sore itu sehabis liqo, Ustadz Salim menahanku dan ingin berbicara padaku. Ia berkata bahwa apakah aku ingin menyempurnakan sebagian agamaku atau tidak. Ucapan Ustadz Salim begitu keras menampar, aku merasa seperti di sambar oleh petir. Tak ada kata yang berani aku ucapkan, aku merasa begitu gugu hingga akhirnya aku sendirilah yang menoba untuk memberanikan diriku bertanya kepada Ust. Salim “Maksud Ustadz menikah?” tanyaku hati-hati menyimpulkan pernyataan yang diucapkan oleh Ustadz Salim. “Iya Ana, menawarkan pada Antum untuk menikah.

Menikah diusia muda itu tidak terlarang kan. terlebih Rasulullah dulu juga menikahi Siti Aisyah yang masih muda. Lagi pula, yang Akhwat ini Ustadz dengar satu kampus, dan ingin menikah dengan pemuda yang baik agamanya serta mampu dijadikan imannya.

Terlebih Antum juga sudah mau menyelesaikan skripsi. Ana butuh pendat Antum sore ini sebelum Antum pulang” Jawab Ustadz salim dengan tenang. Aku baru saja sadar. Ternyata memilih pilihan itu begitu sulit, bahkan sangat sulit. Terlebih karena pilihan inilah yang akan menentukan aku dan calon keluargaku kedepannya nanti. “Anu, Ustadz punya CV sang Akhwat?” kataku memberanikan diri namun masih diliputi dengan karaguan

“Gini aja deh, kalau Antum ragu shalat dua rakaat aja dulu, soalnya kalau gak salah CVnya gak kebawa?” kali ini Ustadz salim menjadi lebih lunak dan menawarkankku untuk melakukan shalat istikharah. Kumantapkan niatku untuk mencari keridhaan Allah SWT, aku memohon padanya sebagaimana doa yang sudah Rasulullah ajarkan kepada umatnya. Aku memulai shalatku dengan khusyuk, tak banyak ayat surat yang aku baca, karena setidaknya yang kuharapkan adalah ketenangan. Tak lama Ustadz Salim menungguiku shalat dan berdoa. Seusai shalat aku beranikan, dan kukatakan iya kepada Ustadz salim. Tampak ada senyuman penuh arti yang merekah dibalik usianya yang mulai menua lalu menyuruhku pulang dan mengenakan pakaian terbaikku dan kembali kerumahnya, Aku sungguh tak mengerti.v csxdqqs ****

Suatu hal yang tak aku sangka, sore itu Ustadz Salim menelpon orang tua ku dan mengajakku langsung menuju kerumah sang Akhwat yang ternyata merupakan teman satu kampusku. Orang tua kami sudah mengenal lama dan perkenalan itu tak terlalu lama, karena lebih kearah basa-basi dari dan ke keluarga sang Akhwat. “Jadi kalian berdua sudah saling mengenal?” tanya Ustadz Salim kepada aku dan Ukhti Zahrah

“Sebenarnya tidak” , “Aku hanya mengenal orang tuanya, namun selama aku main ke sini aku tak pernah melihat Ukhti Zahrah” jawabku singkat takut-takut Ustadz Salim akan bertanya hal yang akan aku semakin gorgi, diikuti anggukan dari Ukhti Zahrah.

Selesai dari basa-basi tersebut rupanya keluarga sang Akhwat meminta agar aku menikahi anaknya sore itu juga. Sebuah syarat yang sangat berat menurut aku. Tak banyak yang bisa aku dan keluargaku lakukan. Dan sore itu juga aku menikahi Ukhti Zahrah diikuti beberapa saksi, ketua RT, ketua RW, keluarga kami dan tetangga sekitar.

Selesai dari pernikahan orang tuaku dan orang tua Zahrah sudah memiliki rencana untuk pesta pernikahan kami, namun dengan lembut aku mengatakan bahwa aku juga memiliki rencana pesta namun tanpa undangan dengan harapan pesta itu menjadi kejutan untuk temen-teman di LDK kampusku.  



Biodata penulis

Rayhan, seorang remaja kelahiran Padang tepat pada tangal 29 Januari 1993, saat ini sedang menempuh pendidikan dokter di Universitas Abulyatama Aceh. Menyukai dunia kesehatan, dan seni yang berbau musik dan melukis-menggambar dan mendesain. Merupakan salah satu aktivis donor darah, dan pecinta Alam. Bagi ada kritik dan saran silahkan langsung ke email rayhanalka@yahoo.com

Izinkan Aku Kembali

Oleh : Dede Al-Khansa

“ Ukhti…” sapaan damai itu bagai oasis di tengah gersangnya padang pasir. Sapaan damai yang telah akrab di telinganya sejak dua tahun lalu, sejak ia memutuskan menjadi bagian dari pelajar-pelajar sekolah yang memiliki komitmen tinggi terhadap dakwah sekolah. Sapaan yang membuatnya dirinya merasa berarti. Sapaan hangat yang menyatukan hati-hati mereka dalam persaudaraan suci. Sapaan cinta yang membuat langkah-langkah terjal mereka di jalan itu bagai langkah-langkah yang menuntunnya pada taman-taman syurga. Dan sapaan itu yang kini membuat Karin menangis dalam pelukan saudarinya. Naura. Naura, sahabatnya yang dulu mengenalkan dirinya pada jalan penuh cinta itu. Naura, sahabatnya yang rela membagi waktu untuk membimbingnya. Membimbingnya mengenal Islam dengan segenap ketulusan dan cinta. Menuntunnya saat dulu dia begitu terbata membaca Al Qur’an, tertatih mengejarnya yang sudah lebih paham tentang Islam. Dan kini, saat dirinya benar-benar rapuh, saat dirinya merasa bahwa Allah benar-benar tidak adil, saat hatinya benar-benar tak menyangka bahwa kini ia sudah sangaaaattt jauh dari Allah, saat mulutnya tak mampu lagi mengeluarkan segala isi hati. Naura datang kepadanya. Datang dengan ketulusan yang sama seperti saat pertama kali mereka bertemu. “

Aku mencarimu pas kenaikan kelas XII. Kau jahat, Karin! Pindah sekolah, Pergi tidak pamit. Kau anggap apa aku?!” Naura mencercanya sambil mengusap air mata dengan jilbab lebarnya. Dengan nada yang masih seperti dulu saat dia marah kepadanya.

Karin tersenyum tipis. Lalu berjalan menuju bangku yang berada di tengah taman kota. Naura mengikutinya dari belakang. “

Karin…jilbabmu?” Naura tersadar bahwa kini Karin yang berada dihadapannya telah berbeda jauh dengan yang dulu. Jeans, kaos, rambut panjang terurai. Allah…begitu mudahnyakah hidayah itu terlepas darinya?? Ahh..bukankah yang berhak memberikan dan mencabut hidayah itu hanya Allah? “

Keadaan telah mengubah segalanya, Naura,”

Karin menerawang jauh ke langit biru, “ terkadang kenyataan yang ada tak sesuai dengan harapan kita,” lanjutnya. Ada nada getir dari ucapannya.

“ Buat aku mengerti apa yang sebenarnya terjadi denganmu?” Naura meminta penjelasan. Kata-katanya seolah mengatakan, apa yang dapat ku bantu? Karin menoleh ke arah Naura. Memaksa untuk tersenyum meski hatinya menangis. Ia tak ingin membuat sahabatnya kecewa. Bukankah selama ini memang Karin yang selalu di sisinya. Mengulurkan tangan dan ketulusan hati untuknya.

Dan kini, Andai Naura tau masalah yang dihadapainya begitu besar, apa dia masih mau membantunya? Mengeluarkan dirinya dari masalah yang membuat hatinya sesak tak nyaman. Menyisakan sedikit ruang untuk Karin mencurahkan sedu sedannya.

Masihkah?? “ Kau sahabatku…” Naura memegang bahu Karin. Menatap sungguh-sungguh. Meyakinkan Karin, bahwa apapun yang terjadi dengannya, bagaimanapun keadaanya sekarang, dia akan tetap menjadi sahabatnya. Naura memandang Karin tak kuasa, “maafkan aku…” pintanya dengan tunduk yang dalam.

Dengan butiran air mata yang belum dapat Naura artikan. Dengan bahu terguncang yang membuat Naura segera memeluknya. “ Maafkan aku. Aku sendiri belum mampu untuk menceritakannya kepadamu,” sedunya di pelukan Naura. Naura menghela napas,“ Ya. Tak apa. Ada kalanya semua masalah kita, tak perlu disampaikan ke orang lain. Mungkin akan lebih membuat kita nyaman,” katanya bijak. Tidak. Karin menggeleng. Karin bukan tak ingin menceritakannya kepada Naura. Sungguh…dadanya sesak saat ini. Dia tidak nyaman menyimpan masalahnya sendiri. Sama sekali tidak.

“ Mintalah pertolongan kepada Allah melaui sabar dan sholat,” Allah…ah mendengar nama itu membuat Karin bergetar . berapa lamakah? Berapa lama nama itu sudah hilang dari hatinya? Tak ada Allah dalam hatinya sejak dia memutuskan untuk menanggalkan seluruh atribut agamanya. Bukan atas kemauan dirinya, tapi keadaan yang memaksanya sedangkan dia merasa tak punya pilihan lain. Atau saat itu mungkin dia sedang buta mata dan hatinya? Sehingga merasa lupa bahwa satu-satunya penolong adalah Allah? Karin melihat jam tangannya, “ maaf, aku harus buru-buru,” ia berdiri. Merapikan bajunya dan mengusap air matanya.

“ Sayang sekali…padahal aku mau cerita banyak denganmu,” Naura sedikit kecewa. “ Begini saja. Aku kasih KTP ku. Oya, aku sudah 17 tahun jadi punya KTP. Kau bisa main ke rumah,” “ Nomor handphone?” “ Hape ku baru saja hilang. Maaf ya…see you….” Karin beranjak “ Karin…” panggilan Naura membuat langkah Karin terhenti, “ kau bahkan lupa mengucapkan salam,” Karin tersenyum getir. Lalu pergi. Maaf kan aku…. ***

Siang yang panas. Dua siswi mengenakan rok abu-abu, duduk bersisian di bangku taman kota. Yang satu mengenakan jilbab panjang, sedangkan satu lainnya, ahh…melihat bet di bajunya saja, orang tahu itu seragam sekolah non muslim ternama di negeri ini.

“ Kenapa… Kenapa hanya diam?” mata Karin berkaca-kaca melihat sahabat disampingnya terisak. Salahkah? Salahkah dia mengatakan kepada Naura bahwa saat ini, dirinya tak lagi sama dengan diri Naura. Naura yang Muslim, dan dia yang…ahh, dia tak sanggup mengatakannya. Ini… ini yang dia takutkan. Sahabatnya tak menerima semua ini. Itu artinya, dia akan kehilangan semuanya. Belum cukupkah hukuman yang ia terima?

“ Kenapa…Kenapa kau mengambil jalan yang dimurkai Allah. Kenapa begitu mudahnya mengambil keputusan sejauh itu? Dimana Allah saat itu, Karin? Tak adakah Ia di hatimu?” Naura terisak. Karin menggigit bibir, menatap ke langit, menghalau air mata jatuh ke pipinya. Tak bisa. Semakin ditahan, semakin keras isaknya.

“Ya. Justru aku yang ingin bertanya, dimana Allah? Dimana Dia saat Adikku sakit parah dan butuh perawatan cepat sedangkan orang tuaku sudah habis uang untuk membiayainya Selama ini?? Dimana Allah saat Ayah dan ibuku terlibat hutang yang besar dan membuat kami harus diusir dari rumah?? Aku yang harus kerja serabutan Kau tentu tau, dari dulu orang tuaku tak pernah menganggapku ada bersama mereka. aku bahkan lupa kapan terakhir merasakan kasih sayang mereka. Aku dianggap ada hanya jika mereka membutuhkanku. Dimana Allah saat kondisiku seperti itu, Naura. Dimana??” protesnya dengan nada tinggi,

“Dan yang paling menyakitkan adalah, dengan teganya menjualku kepada teman mereka yang jelas-jelas berbeda agama. Sakit…sakit sekali…Dimana Dia saat kondisiku benar-benar terjepit? Atau memang ini sudah takdir yang ditentukan Tuhan…”

“ Tidak,” sahut Naura, “jangan pernah salahkan takdir. Hidup adalah soal pilihan. Apakah jalan ketakwaan, atau justru jalan kekufuran. Allah tidak pernah meninggalkan kita, tidak pernah menjauhi kita. Sekalipun Dia mengatakan, Dia mengilhamkan jalan keburukan atau jalan kebaikan, tetap saja dia mengiring kita kepada kebaikan itu. Meski dengan cara yang tidak kita harapkan, meski dengan musibah yang betubi-tubi,” lanjutnya, “ Hanya terkadang, kita sendiri lah yang melenceng dari jalan kebaikan itu. Kita sendiri lah yang menjauh dari Allah, berlari meninggalkannya, padahal Dia, sangat dekat,” Naura berkata seperti itu, karena sungguh…sungguh dia yakin sahabatnya tak pernah menginginkan hal ini, karena dia yakin sahabatnya tak nyaman dengan agama barunya dan rindu keindahan Islam.

Karin menatap sahabatnya yang sedang menatap langit, “ Kau tau, Karin? Saat terjepitmu itu, saat kau hampir saja putus asa ketika itu, saat kau benar-benar pasrah, saat kau merasa tak ada lagi yang bisa membantumu selain orang tua asuhmu saat ini, mungkin saja saat itu Allah hendak menurunkan bala bantuannya, kalau saja kau tak gegabah dalam mengambil keputusan, kalau saja kau bisa bersabar sedikit lebih lama,” Naura menghapus air matanya, menoleh kea rah Karin yang sedang menunduk, “ tapi itu pilihanmu, kamu yang menjalaninya, sedangkan aku…aku tak berhak untuk memaksa,” ia berdiri lalu pergi meninggalkan Karin.

“ Ra, kau sudah tak menganggapku sebagai sahabatmu lagi, paling tidak seorang teman,” panggilan Karin menghentikan langkah Naura. Naura menoleh, “ kau tetap sahabatku. Tapi apa kau tak ingin persahabatan kita kelak sampai ke syurga?” ia tersenyum dan melanjutkan langkah. Aku bahkan ingin kita bersaudara dengan persaudaraan fitrah.

Dan pesaudaraan seperti ini, hanya bila kita sesame muslim. Maka kembalilah, Karin…kembalilah kepada fitrah. Kembalilah Dengan kerinduan-kerinduan yang pernah kita rangkai bersama saudara-saudara muslim lainnya. Robbi…Kau yang memiliki hidayah itu. *** Malam merangkak naik, menampakkan tanda-tanda sunyi yang syahdu. Suara-suara binatang malam tak mengusik kesyahduan, justru membuat simpony alam yang menggetarkan.

 Di sepertiga malam itu, Karin bersujud dalam tahajud yang panjang. Menangis dalam-dalam. Memohon ampun atas kekufurannya sejak enam bulan lalu. Dan hari ini, dia kembali muslim. Disaksikan oleh Imam Masjid Al Mujahidin dan beberapa jama’ah masjid. Mukenanya basah oleh air mata yang tak kunjung henti. Isaknya begitu menggetarkan. Rabbi…izinkan hamba kembali merasakan indahnya Islam mulai hari ini. Rabbi…Ampuni hamba yang terlalu berburuk sangka menerima keputusanmu, sehingga jalan yang Kau murka yang ku tempuh. Robbi…

Jikalah hamba mati, matikan hamba dalam keadaan muslim. Yaa muqollibal quluub…Tsabbit quluubana ‘alaa diinik wa thoo’atik. “ Tuhan…Karin! Apa yang kau lakukan?! Cepat bangun!” Orang tua Karin murka melihat anak angkatnya sedang bersujud dengan mukena yang dipakainya, beribadah ala orang Islam. Karin masih sujud. Ayahnya menarik kasar tubuh Karin, “ Apa yang kau lakukan??!!” tanyanya murka.

“ Aku sedang sholat. Menyembah Allah, Tuhan ku,” Karin menjawab tenang. Ayahnya melempar tubuh Karin ke tembok. Karin terjerembab. Dahinya terbentur. Ia meringis, meraba dahinya. Darah… “ Kau ingat! Enam bulan lalu orang tuamu menjualmu kepada kami. Sejak itu kau bukan lagi bagian orang-orang Islam, camkan itu!” ibunya angkat bicara. “ ya!

Tapi mulai hari ini, saksikan, aku seorang muslim!” PLAKK!! “ Argghh…” tamparan keras ayahnya mendarat di pipi Karin. Karin mengaduh. Ia tak pernah menyangka ayahnya begitu kasar. “ Buka pakaian sholatmu!” ibunya menarik kasar mukena Karin. Alangkah terkejutnya mereka, ternyata Karin memakai pakaian ala orang-orang muslim itu. Karin memegangi jilbabnya.

“ Kau bahkan memakai pakaian orang-orang Arab itu!” ibunya merampas jilbab yang dipakai Karin. Terlepas. Bahkan leher Karin tergores peniti. Sakit, tapi tak seberapa dibanding sakitnya jilbab dirampas. Ia mengedarkan pandangannya. Mengambil kain sarung di atas tempat tidurnya lalu menutup kepalanya dengan kain sarung tersebut. “ Anak keras kepala! Ikut aku!!” ayahnya menarik tangan Karin ke luar kamar. Karin meronta. Sementara tangan yang kanannya memegangi kain sarung yang menutup kepalanya, “ Lepaskan aku!

 Aku sudah besar, sudah bisa menentukan pilihan sendiri. Kalian tak berhak atasku!” “ Diam kamu!” gertak ibunya. Adzan subuh terdengar. Karin ingin sholat. Karin ingin sholat. “ Kita bawa saja dia ke Gereja,” Karin tersentak. Dia menggeleng. Dia bersumpah, dia gak mau ke tempat itu lagi! Ayah-ibu menyeret kasar Karin ke luar rumah. Ayah mengeluarkan mobil dari bagasi, ibu yang memegangi Karin. Tenaga ibu tak sekuat tenaga Karin.

“ Maafkan Karin, Bu,” ia mendorong tubuh ibunya. Berlari keluar gerbang. Bersyukur gerbang tidak dikunci. “ Karin! Jangan kabur kamu! Ayah, dia kabur!” “ Karin! Kamu gak akan bisa kabur!!” Karin tak peduli. Ia berlari entah kemana tujuannya. Darah di wajahnya belum berhenti mengucur bercampur dengan air mata sedih, panik, takut, sementara sesekali ia meringis kesakitan akibat luka di leher yang tergores peniti. Tangan kanannya memegangi kain yang menutup kepalanya. Matahari sudah menyembul dari arah timur. Dia tak menyadari telah berlari sangat cepat, mungkin belum pernah ia berlari secepat ini sebelumnya. Entah sudah berapa jauh dia berlari.

 Berapa jam dia berlari. Dadanya sesak, nafasnya tersengal. Keringat, darah, air mata menjadi satu. Rasanya dia sudah tak kuat. Allah…Karin rela…Karin rela hidup menderita, Karin rela jika harus mati asal tetap dalam keimanan kepada-Mu, asal Karin bisa bertemu dengan-Mu, Karin rela disiksa seperti ini, asal ini dapat menebus kesalahan Karin di masa lalu, asal siksaMu tak menghampiri Karin di akhirat kelak. Tubuh Karin terhuyung. Samar ia melihat sebuah bangunan kecil berkubah. Sebuah bangunan, pertama kali ia merasakan indah hidayahNya. Lalu, semua gelap… ***

Karin perlahan membuka mata. Dimana dia? Adakah ayah-ibu nya berhasil menangkapnya dan membawanya ke gereja? “ Alhamdulillah…Kamu sudah sadar, Karin,” Suara itu? Karin sangat mengenalnya. Samar ia lihat beberapa akhwat mengerubunginya.

Wajah-wajah khas penuh senyum keramahan yang dulu membuat Karin jatuh hati dengan Dakwah Sekolah. Ada Naura disana. Karin mencoba duduk. Mereka membantunya. Dilihatnya satu per satu wajah yang dia kenal. Teman-teman ROHIS nya.

“ Karin…” Naura memeluk Karin. Tangisnya pecah dipelukan Karin. Tangis yang Karin tak mengerti. Terlebih ketika ia melihat teman-teman akhwat yang lain menunduk haru. “ Anak-anak ROHIS sedang MABIT,” cerita Naura, “aku melihat ada orang tergeletak di depan gerbang. Ternyata itu kamu. Aku tak tahu apa yang terjadi denganmu, Karin. Wajahmu penuh luka. Tapi ketika ku lihat gamis yang kau pakai, kain sarung yang menutup kepalamu aku tahu apa yang terjadi denganmu. Kau tampak menderita, Karin,” Naura menjelaskan.

Karin menunduk. Menceritakan semua yang dialaminya dengan nada getir. “ Seperti yang dulu pernah kita pelajari sama-sama di masjid ini. Islam satu-satunya jalan hidup untuk bahagia. Sekilas tampak aku begitu menderita. Tapi jauh…jauh di lubuk hatiku, aku sangat bahagia dengan keislamanku, aku sangat bahagia berkumpul kembali disini,”

“ Saat itu, yang ku bayangkan adalah…bagaimana dulu Sumayyah binti Khayyath mempertahankan islamnya. Bagaimana Bilal bin Rabah bertahan di bawah terik panas matahari, dicambuk, ditindih batu. Mush’ab bin Umair yang harus menanggalkan kemewahan keluarganya, Salman Al Farisi yang mengembara jauh dari kampungnya untuk mencari kebenaran sungguh..penderitaanku yang saat ini kalian saksikan sama sekali tak ada apa-apanya dibandingkan mereka,” kata-kata Karin membuat teman-temannya menunduk menyembunyikan air mata..

Naura mengangguk, “kamu masih lelah. Istirahatlah… kami mau bersih-bersih masjid dulu,” ia berdiri. Saat yang lain kerja bakti, Karin membantu semampunya. “ Terima kasih sudah menerimaku kembali. Aku rindu suasana seperti ini. Berpeluk erat saling menguatkan dan mengingatkan. Kerinduan-kerinduan seperti inilah yang menjadi salah satu alasanku untuk kembali,” lirih ia berucap. Robb…aku tak tahu apa yang kan terjadi nanti.

Tapi, Meski tetes air mata, tetesan keringat, bahkan tetesan darah harus keluar untuk mempertahankan islam ku. Aku tak peduli. Aku Muslim. Selamanya Muslim Sayup terdengar suara nasyid yang diputar.

"Andai matahari di tangan kanan ku, takkan sanggup mengubah yakinku, Terpatri dan takkan terbeli…dalam lubuk hati Bilakah rembulan di tangan kiri ku, takkan sanggup mengganti iman ku Jiwa dan raga ini, apapun adanya… Andaikan seribu siksaan…terus melambaik-lambaikan derita yang mendalam Seujung rambutpun aku takkan bimbang…jalan ini yang ku tempuh Bilakan ajal kan menjelang, jemput rindu-rindu syahid yang penuh kenikmatan. Cintaku hanya untukMu, tetapkan muslim ku selalu… "
(Shaffix : Keimanan)

Cirendeu, 14 Juli 2012

Sepertiga Malam yang syahdu

Ada Cinta dan Ukhuwah dalam Mentoring

Oleh : Visya Blue

Dek, nanti pulang sekolah kumpul di masjid ya. Ada mentoring buat akhwat angkatanmu bareng alumni.”

Begitulah kata kakak kelasku di ROHIS saat pertam kali aku masuk ROHIS SMA Al-Birruni di tahun pertama masa sekolahku. Awalnya aku tidak mengerti, apa itu mentoring. Selama di SMP aku memang pernah mengikuti kegiatan ROHIS SMP seminggu sekali. Itu pun hanya setahun dan setiap pertemuan hanya diisi dengan pengajian oleh kakak-kakak berjilbab panjang dari luar sekolah. Jadi aku sama sekali tidak tahu apa itu mentoring.

 Beberapa orang akhwat lainnya pun mengiyakan ajakan kakak kelasku. Sementara aku masih ragu. Aku memang orang yang memilih-milih, dalam artian aku hanya melakukan kegiatan yang kuanggap positif. Tapisetelah kupikir dua kali, tidak mungkin kakak kelasku mengajakku melakukan kegiatan mudharat.

Pasti kegiatan ini bermanfaat. Saat berkumpul di masjid, kulihat raut wajah akhwat lainnya tenang-tenang saja. Jangna-jangan mereka semua sudah tahu apa itu mentoring. ”Mentoring apaan sih?” tanyaku ada Vasa. ”Lha? Aku juga nggak tahu, Sya.” ”Kamu tau nggak, Sa?” kali ini aku bertanya pada Khisa. ”Nggak tau, hehehe.” jawabnya. Ternyata dugaannku salah, mereka belum tahu apapun sama sekali. Bahkan Mala, satu-satunya akhwat berjilbab, pun tidak tahu menahu. Akhirnya alumni yang kami tunggu pun datang. Ia bernama Kak Tyara, alumni ROHIS angkatan 2008. Sekarang ia mengenyam bangku perkuliahan di sebuah kampus negeri tak jauh dari sini. Dari penampilan dan pembawannya, sepertinya Kak Tyara adalah orang yang asyik diajak diskusi maupun bercanda. Setelah saling berkenalan atau yang disebut ta’aruf oleh Kak Tyara, ia pun menjelaskan tentang mentoring. Mentoring adalah kepanjangan dari mental kotor disaring.

Sebenarnya istilah itu hanya plesetan belaka. Arti sesungguhnya dari mentoring ialah menyaring atau mengintropeksi kembali ibdah-ibadah kita selama seminggu. Ya, mentoring diadakan seminggu sekali. Orang yang memberikan mentoring disebut sedangkan binaannya disebut mentee. Mentoring biasanya diawali oleh pembukaan dan pembacaan Al-Qur’an dilanjutkan materi yang deberikan oleh mentor. Dalam satu kelompiok mentoring SMP/SMA biasanya terdiri antara 5-10 orang mentee. Karena hari ini adalah hari pertama mentoring, jadi Kak Tyara hanya mengisinya dengan penjelasan tentang mentoring. Begitu selesai dengan penjelasan, Kak Tyara melanjutkannya dengan bermain tebak-tebakkan. Kami sesekali tertawa mendengar tebaknnya yang konyol. Tak terasa satu setengah jam sudah kami bersama. Tepat pukul 15.00 kami pun menutup mentoring hari itu untuk kemudian shalat Ashar berjamaah lalu pulang. Mulai hari itu Kak Tyara pun resmi menjadi mentor kami.

”Oke, mulai hari ini kakak resmi menajdi emntoe kalian dan kalian resmi menjadi mentee kakak. Jadi kalau kalan ada masalah apapun, jangan sungkan-sungkan untuk menceritakannya apda kakak ya, karena mulai hari ini kalian adalah amanah kakak. oke, Adik-adikku sayang?” ”Oke, Kak!” jawab kami serempak. Di mentoring kedua kami diminta memililih ketua mentoring, sekretaris dan bendahara. ”Jadi, siapa yang mau mengajukan diri?” tanya Kak tyara, menatap kami bergantian. ”Yah, Kak, kalau kaya gini mah nggak bakal ada yang mau mengajukan diri. Gimana kalau kita voting?” usul Dzia, kembaranku. ”Betul juga. Oke deh, kita voting. Kalian ambil kertas trus di kertas itu kalan tulis satu nama untuk setiap amanah beserta alasannya. Ada ketua, skeretaris dan bendahara.” Setelah dilakukan voting, didapatlah Vasa sebagai ketua mentoring, Khisa sebagai sekretaris dan Marwah sebagai bendahara. Ketua bertugas memberitahu ada tidaknya mentoring setiap minggu, sekretaris bertugas membawa buku mutaba’ah dan bendahara bertugas mengumpulakn uang kas setiap minggunya. Buku mutaba’ah adalah buku berisi absen dan amalan mingguan kita para mentee.

Untuk uang kas nantinya bisa digunakan untuk rihlah mentoring ataupun sekedar membeli cemilan saat mentoring berlangung. Selain itu kami juga mulai menerpakan aturan yang harus dipatuhi saat mentoring. Di minggu-minggu selanjutnya mentoring tetap berlangsung seprti biasa. dibuka oleh MC. Eits, buakn hanya acara-acara formal yang dipimpin MC, mentoring pun demikian. Sayangnya kadang kala tidak semua akhwat bisa datang mentoring. Beberapa ada yang absent tidak datang karena ada urusan lain. Aku sendiri selama ini selalu mengusahakn datang. Paling-paling kalau aku sakit, baru aku terpaksa tidak datang mentoring. Meskipun baru beberapa bulan aku mengikuti mentoring tapi aku merasakn banyak sekali manfaatnya. Saat mentoring berlangung aku merasa ukhuwah kami semakin erat dan dekat.

Selain itu materi yang diberikan oleh Kak Tyara pun selalu kucatat di buku khusus untuk kemudian kutransfer ke teman-teamnku yang lain. Aku teringat slah satu hadits Nabi. Sampaikanlah kebaikan/ilmu walau hanay satu ayat. Melalu materi-materui itulah tarbiyah (ilmu)ku semakin bertambah. Meski begitu tak jarang jika aku sudah dibuat lelah oleh sekolah hari itu, aku tidak bisa memperhatikan materi yangdiberikan dengan benar. Bukan hanya aku, tapi hal ini juga berlaku bagi akhwat lainnya. Tapi kalau sudah menyangkut materi cinta yang sangat sensitif bagi akhwat, para akhwat lainnya pun akan mendengarkannya dengan saksama. Untuk yang satu itu tidak berlaku bagiku. Di luar waktu mentoring, aku seringkali berhubungan denagn Kak Tyara leat SMS. Kuceritakn segala masalah sepele yang kualami. Kak tiara denagn sabar selalu mendengarkan keluh kesahku. Buakn itu saja, ia juga sesekali memberiku solusi dan memberiku kata-kata motivasi. Di luar mentoring juga, ukhuwahku dengan akhwat angkatanku semakin kokoh. Kami saling mengingatkan satu sama lain untuk shalat tahajud dan puasa sunah lewat Tahajud and Shaum Calling. Kami saling meminjami buku-buku islami untuk dibaca. ◊ ◊ ◊ ◊

Pada awal 2010 tepatnya pada semester 2 kelas XI, Kak Tyara memtuskan untuk mengganti mentor kami. “Dari tahun ke tahun, kalian harus emngalami peningkatan. Dan tentunya murabbiyah kalian pun harus meningkat menjadi yang lebih baik. Ana Cuma bisa mentarbiyah yang level 1, sedangkan kalian sudah harus masuk ek elvel 2.” Begitulah alasan Kak Tyara. Aku tahu, Kak Tyaar sedih dan seolah tak rela melepas kami tapi itu semua harus dilakukannya demi kami. Kami pun tak sanggup membendung kesedihan kala harus ebrpisah dengannya. Akhirnya mulai saat itu mentor kami bukan lagi Tyara Aningrum, melainkan Fikriyah Wardhani atau Kak Riyah. Kak Riyah adalah alumni tahun 2005, tentu saja usianya terpaut cukup jauh dari kami, terlebih ia sudah menikah. Awalnya aku meras tidak nyaman karena aku merasa Kak Riyah terlalu dewasa untuk akhwat yang tergolong childish sepertiku. Tapi tidak sama halnya dengan akwhat lain. Mereka malah cenderung merasa lebih nyaman karean Kak riyah “sudah berpengalaman”.

Aturan mentoring yang ditetapkan Kak Riyah tridak beda jauh dengan Kak Tyara. Di bulan kedua Kak Riyah harus menyelesaikn skripsi akhirnya. Oleh karena itu untuk sementara mentor kami digantikan oleh Kak Dira. Beberapa kali kami smepat tidak mentoring karena kakak-kakak pengganti mengalami halangan. Aku merasa ada yang kurang jika seminggu saja tidak mentoring. Dek, afwn ya, mhinggu ini nggak mentoring dulu karena kakak lagi nggak ikut LDK di kampus. Begitulah bunyi pesan singkat yang dikirmakn Kak Dira padaku. “Teman-teman, minggu ini Kak Dira nggak bisa ngasih mentoring minggu ini. Jadi gimana nih?”tanyaku saat kami bertujuh sedang berkumpul. “Ya udah, mau gimana lagi.” jawab Khisa. “

Tapi aku mau mentoring!” tukasku. “Aku juga!” susul Vasa. “Emang alumni lain nggak ada yang bisa gantiin?” tanya Marwah sambil membaca buku. “Hmm..” Hanan tampak berpikir. “Kita ganti aja mentoring kita dengan kegiatan possitif lainnya.” “Oh iya, kemarin aku dpaat udangn seminar keputrian di SMA Bina Mulya. Mau nggak kita ke sana aja? Acaranya Sabtu pagi.” ajak Mina. Setelah dirembukkan, kami semua sepakat mengisi mentoring minggu ini dengan menghadiri seminar keputrian di SMA Bina Mulya meskipun tidak semuanya bisa ikut. Tak terasa 3 bulan sudah kami dimentoring oleh Kak Dira. Kini saatnya kami harus mengucapkans ‘Ila liqoo’ padanya karena mulai minggu depan Kak Riyah akan kembali menjadi mentor kami. Untuk kedua kalinya kami pun harus merasakan sedihnya berpisah dengan seorang mentor.

Meskipun hanya tiga bulan bersama Kak Dira, tapi kami merasa nyaman sekali. “Maafin kakak ya kalau selama ini kakak banyak salah sama kalian. Kakak senang sekali memiliki binaan seperti kalian.” ucap Kak Dira di akhir perpisahan kami. “Kita juga senang pernah merasakan dimentoring oleh kakak.” “Jangan samapi kita lost contact ya, Kak!” “Kita semua sayang sama kakak.” Perpisahan hari itu pun diwarnai tangisan seperti sebelumnya. Semuanya berlangsung secara de javu. ◊ ◊ ◊ ◊

Tak terasa kami semua sudah naik ke kelas XII. Tentunya kegiatan belajar kami semakin padat. Ada yang pelajaran tambahan dari guru, ada yang les di bimbingan belajar ataupun les privat. Tugas-tugas sekolah pun kian menumpuk. Akibatnya semua ini berimbas pada jadwal mentoring kami. Rasanya sulit sekali mengumpulkan semua akhwat untuk mentoring bersama. Paling-paling hanya 3-4 orang yang masih gencar mentoring setiap hari Senin atau hari kerja lainnya. “Kak, apa nggak sebaiknya jadwal mentoring kita diganti jadi hari Sabtu?” “Yah, kalau Sabtu aku sering pergi. Jangan Sabtu deh.” proteku. “Tapi cuma di hari Sabtu semua libur les, Sya.” balas Vasa. “Hmm, kalau hari Sabtu Insya Allah Kak Riyah bisa. Tapi teman-teman lain gimana? Pada bisa dan mau nggak?” ”Nanti malam kutanya lagi deh, Kak.” ujar Vasa. ◊ ◊ ◊ ◊

Malam harinya Satu per satu akhwat pun ditanya tentang jadwal baru mentoring dan hapir semuanya memilih ‘Sabtu’. Ya sudahlah, aku pun merima keputusan itu dengan lapang dada. Awalnya yang datang mentoring hari Sabtu hampir banyak, sekitar 5-6 orang dari 7 orang akhwat. Tapi semakin lama jumlah tersebut semakin berkurang seiring dengan kegiatan les akhwat lainnya yang bertambah di hari Sabtu. Terlebih sejak sebulan lalu Kak Riyah harus bedrest di rumah karena kondisinya sedang berbadan dua sehingga mentoring dilaksanakan di rumah Kak Riyah. Hal itu membuat akhwat lainnya semakin tidak bisa datang mentoring.

Kini, hanya aku dan Dzia yang masih dengan setianya setiap Sabtu pagi pergi ke rumah Kak Riyah untuk mentoring. Sementara akhwat lainnya mengikuti les tambahan dari alumni ROHIS di UI setiap Sabtu pagi di sekolah. Padahal Kak Riyah hanya ada waktu di Sabtu pagi. Mengetahui hal ini jelas saja aku sedih. Kami bertujuh yang pada awal kelas X begitu semangat mentoring, kini harus terpecah-pecah untuk mentoring. Aku harap tujuh titik itu kembali membentuk lingkarang kembali. Aamiin. Ada cinta menelusup dalam nadi.. Cintanya bak lingkaran tak terhingga..

 Ukhuwahnya bak lingkaran tak bersudut.. Aku rindu, aku selalu rindu.. Pada lingkaran antara aku, kau dan mereka..

:Penulis yang bernama pena Visya Blue ini suka menulis sejak SMP. Prestasi menulis pertamanya adalah menjadi finalis Lomba Menulis Crazy Moment (Leutika, 2010) disusul dengan Juara II Lomba Menulis STANIA FAIR (STAN, 2011) dan beberapa buah antologi yang berhasil ditelurkannya bersama penulis lain. Cita-citanya menjadi guru SD membawanya ke bangku kuliah di jurusan Pendidikan Matematika UNJ (2011). Akhwat penyuka warna biru ini memiliki hobi backpacking, membaca, menulis dan membuat kue. Matematika, Sains, Pattiserie, Islam, dan pendidikan adalah dunianya. Penulis dapat dihubungi di Visya Blue (Facebook), @visyabiru atau matematika.kimia@gmail.com.

“Hidup mulia dan mati syahid!

 ALLAHUAKBAR!”

Iklan

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites