Hari ini untuk kesekian kalinya, aku ke Masjid Jami' di sebuah kecamatan di Kabupaten Gresik. Ada pemandangan baru yang belum pernah kujumpai sebelumnya. Jamaah shalat Asar ini lebih dai 60%nya adalah bapak-bapak bercelana coklat tua dan baju yang khas atau kaos bertuliskan “POLRES GRESIK”. Ya, mereka adalah para polisi. Seusai shalat aku sempatkan bertanya pada salah seorang diantara mereka: apakah terkait dengan program Kapolda Jatim yang baru.
Sebagaimana diberitakan oleh banyak Media, kini wajah kepolisian Jawa Timur memang mulai berubah seiring pergantian Kapoldanya. Kapolda yang baru, Brigjen Pol Anton Bahrul Alam, terkenal sebagai seorang yang religius, gemar shalat jama'ah, membiasakan qiyamullail, dan berdakwah. Maka, misi mulia inipun ditransformasikan dalam tubuh institusinya dengan program-program keagamaan yang akan berefek pada perbaikan citra dan kinerja polisi.
***
Adalah sebuah catatan sejarah yang terjadi di hampir semua tempat, bahwa militer dan polisi kerap menjadi tantangan dakwah di berbagai negara, khususnya saat dakwah berusaha masuk dalam orbit kenegaraannya, mihwar dauli. Maka kita melihat begitu beratnya perjuangan Ikhwanul Muslimin di Mesir untuk bisa memenangkan dakwah di level ini dan memasuki mihwar dauli. Meskipun mayoritas ilmuwan dan lembaga profesi telah menjadi bentuk lain dari transformasi Ikhwan, dakwahnya belum juga diterima dan menuai kemenangan secara formal struktural. Walaupun kita bahkan sangat sulit mencari lembaga profesional yang tidak berafiliasi dengan ikhwan, toh masih ada tembok tebal yang menghalangi dakwah ikhwan dari pemerintahan. Dan tembok tebal itu adalah militer.
Di Turki, meskipun AKP (Adalet ve Kalkınma Partisi) di bawah pimpinan Recep Thayyib Erdogan berhasil memenangi pemilu dan menjadi penguasa pemerintah, tidak serta merta dakwah mampu mendeklarasikan diri untuk mengejawentahkan nilai-nilai Islam secara integral di sana. Lagi-lagi ada tantangan besar yang memposisikan dirinya sebagai penjaga sekularisme, dan itu juga militer.
Belum lagi sejarah panjang konflik militer – dakwah di berbagai negara di dunia, termasuk Indonesia.
Maka, yang kemudian harus menjadi kesadaran bersama bagi institusi dakwah adalah bagaimana dakwah ini -di samping menjaga keberhasilannya dalam aspek lain- bisa masuk ke dalam institusi militer dan kepolisian. Mengapa? Tentu yang pertama adalah bahwa mereka juga bagian dari umat manusia yang berhak mendapatkan dakwah seperti entitas lainnya. Bukankah dakwah Islam adalah dakwah yang syamil mutakamil? Bukankah Islam adalah Din yang rahmatan lil a'alamin? Di sini, tantangan internal pertama yang harus kita singkirkan adalah persepsi bahwa militer tidak bisa didakwahi sebab doktrin nasionalismenya telah menghilangkan cita rasa religiusnya. Persepsi ini harus dihilangkan, tapi bukan berarti hilang kewaspadaan. Artinya, mereka para dai yang diterjunkan ke sana haruslah orang-orang yang kuat, yang tidak kemudian justru terwarnai oleh doktrin sekuler, atau bahkan menjadi intel yang kontraproduktif bagi dakwah.
Kedua, militer dan kepolisian yang terdakwahi justru akan menjadi akselerator bagi keberhasilan dakwah. Sebaliknya, meskipun dakwah Islam mampu menyemai nilai-nilainya pada unsur bangsa yang lain, ia bisa diperlemah, dihambat, atau “dikudeta” oleh militer yang merasa “dikhianati”. Terlebih ketika dakwah memperoleh “kemenangan tipis” lalu terjebak pada “isti'jal” untuk sesegera mungkin merealisasikan cita-citanya dalam konteks negara.
Ketiga, mereka, khususnya kepolisian adalah institusi yang jika "digarap" dengan serius akan menjadi lembaga penegak nahi munkar yang paling efektif. Bersama dengan Satpol PP mereka akan menjadi perpanjangan tangan dakwah dalam hal pencegahan sekaligus penanganan kemaksiatan dan tindak pidana. Bukankah inti dakwah adalah amar ma'ruf nahi munkar? Dan bukankah jika kemunkaran seperti judi, prostitusi, miras, narkoba dan sebagainya adalah musuh dakwah. Jika polisi dan Satpol PP yang bergerak memberantas kemungkaran itu dengan payung konstitusi, adakah masyarakat yang "membenci" dakwah sebagaimana "ketidaksukaan" mereka pada lembaga dakwah seperti FPI sekarang?
Keempat, militer dan kepolisian adalah alat pertahanan negara. Militer memiliki kekuatan yang tidak dimiliki oleh institusi lain. Kekuatan ini bisa menjadi penghalang dakwah, manakala ia tidak lebih dahulu diwarnai oleh dakwah ini. Kekuatan ini juga -setelah terwarnai dakwah- yang akan menjadi kekuatan yang menjaga stabilitas internal dan melindungi negara jika dakwah mendeklarasikan dirinya sementara kekuatan asing hendak menjatuhkannya. Lebih dari itu, merekalah yang akan menjadi kekuatan utama bagi amal jihadi.
Akhirnya, dakwah memang harus menyebar ke semua lapisan. Militer dan kepolisian adalah salah satunya. Konsekuensinya, di samping seluruh elemen dakwah saat ini berusaha memenangkan dakwah dalam ranah politik untuk kemudian memasuki mihwar dauli, para qiyadah dituntut untuk menghadiahkan dakwah ini pada jajaran militer dan kepolisian sesuai dengan levelnya masing-masing.
Jika satu orang kapolda bisa berbuat begitu banyak, maka saat dakwah tersebar di seluruh jajaran kepolisian dan militer sungguh nuansa islami yang rahmatan lil 'alamin akan telihat di seluruh pelosok negeri. Jika satu mantan pejabat polri bisa menggerakkan simpati sekian banyak warga ibukota, maka saat dakwah ini mewarnai seluruh lapisan kepolisian dan militer, saat itu kita akan melihat hasil akhir yang pernah disampaikan Hasan Al-Banna “Berikan kepadaku Al-Azhar, pemuda dan militer; maka akan kutaklukkan dunia bersama mereka” [Muchlisin]
0 komentar:
Posting Komentar