Oleh : Dede Al-Khansa
“ Ukhti…” sapaan damai itu bagai oasis di tengah gersangnya padang pasir. Sapaan damai yang telah akrab di telinganya sejak dua tahun lalu, sejak ia memutuskan menjadi bagian dari pelajar-pelajar sekolah yang memiliki komitmen tinggi terhadap dakwah sekolah. Sapaan yang membuatnya dirinya merasa berarti. Sapaan hangat yang menyatukan hati-hati mereka dalam persaudaraan suci. Sapaan cinta yang membuat langkah-langkah terjal mereka di jalan itu bagai langkah-langkah yang menuntunnya pada taman-taman syurga. Dan sapaan itu yang kini membuat Karin menangis dalam pelukan saudarinya. Naura. Naura, sahabatnya yang dulu mengenalkan dirinya pada jalan penuh cinta itu. Naura, sahabatnya yang rela membagi waktu untuk membimbingnya. Membimbingnya mengenal Islam dengan segenap ketulusan dan cinta. Menuntunnya saat dulu dia begitu terbata membaca Al Qur’an, tertatih mengejarnya yang sudah lebih paham tentang Islam. Dan kini, saat dirinya benar-benar rapuh, saat dirinya merasa bahwa Allah benar-benar tidak adil, saat hatinya benar-benar tak menyangka bahwa kini ia sudah sangaaaattt jauh dari Allah, saat mulutnya tak mampu lagi mengeluarkan segala isi hati. Naura datang kepadanya. Datang dengan ketulusan yang sama seperti saat pertama kali mereka bertemu.
“
Aku mencarimu pas kenaikan kelas XII. Kau jahat, Karin! Pindah sekolah, Pergi tidak pamit. Kau anggap apa aku?!” Naura mencercanya sambil mengusap air mata dengan jilbab lebarnya. Dengan nada yang masih seperti dulu saat dia marah kepadanya.
Karin tersenyum tipis. Lalu berjalan menuju bangku yang berada di tengah taman kota. Naura mengikutinya dari belakang.
“
Karin…jilbabmu?” Naura tersadar bahwa kini Karin yang berada dihadapannya telah berbeda jauh dengan yang dulu. Jeans, kaos, rambut panjang terurai. Allah…begitu mudahnyakah hidayah itu terlepas darinya?? Ahh..bukankah yang berhak memberikan dan mencabut hidayah itu hanya Allah?
“
Keadaan telah mengubah segalanya, Naura,”
Karin menerawang jauh ke langit biru, “ terkadang kenyataan yang ada tak sesuai dengan harapan kita,” lanjutnya. Ada nada getir dari ucapannya.
“ Buat aku mengerti apa yang sebenarnya terjadi denganmu?” Naura meminta penjelasan. Kata-katanya seolah mengatakan, apa yang dapat ku bantu?
Karin menoleh ke arah Naura. Memaksa untuk tersenyum meski hatinya menangis. Ia tak ingin membuat sahabatnya kecewa. Bukankah selama ini memang Karin yang selalu di sisinya. Mengulurkan tangan dan ketulusan hati untuknya.
Dan kini, Andai Naura tau masalah yang dihadapainya begitu besar, apa dia masih mau membantunya? Mengeluarkan dirinya dari masalah yang membuat hatinya sesak tak nyaman. Menyisakan sedikit ruang untuk Karin mencurahkan sedu sedannya.
Masihkah??
“ Kau sahabatku…” Naura memegang bahu Karin. Menatap sungguh-sungguh. Meyakinkan Karin, bahwa apapun yang terjadi dengannya, bagaimanapun keadaanya sekarang, dia akan tetap menjadi sahabatnya.
Naura memandang Karin tak kuasa, “maafkan aku…” pintanya dengan tunduk yang dalam.
Dengan butiran air mata yang belum dapat Naura artikan. Dengan bahu terguncang yang membuat Naura segera memeluknya.
“ Maafkan aku. Aku sendiri belum mampu untuk menceritakannya kepadamu,” sedunya di pelukan Naura.
Naura menghela napas,“ Ya. Tak apa. Ada kalanya semua masalah kita, tak perlu disampaikan ke orang lain. Mungkin akan lebih membuat kita nyaman,” katanya bijak.
Tidak. Karin menggeleng. Karin bukan tak ingin menceritakannya kepada Naura. Sungguh…dadanya sesak saat ini. Dia tidak nyaman menyimpan masalahnya sendiri. Sama sekali tidak.
“ Mintalah pertolongan kepada Allah melaui sabar dan sholat,”
Allah…ah mendengar nama itu membuat Karin bergetar . berapa lamakah? Berapa lama nama itu sudah hilang dari hatinya? Tak ada Allah dalam hatinya sejak dia memutuskan untuk menanggalkan seluruh atribut agamanya. Bukan atas kemauan dirinya, tapi keadaan yang memaksanya sedangkan dia merasa tak punya pilihan lain. Atau saat itu mungkin dia sedang buta mata dan hatinya? Sehingga merasa lupa bahwa satu-satunya penolong adalah Allah?
Karin melihat jam tangannya, “ maaf, aku harus buru-buru,” ia berdiri. Merapikan bajunya dan mengusap air matanya.
“ Sayang sekali…padahal aku mau cerita banyak denganmu,” Naura sedikit kecewa.
“ Begini saja. Aku kasih KTP ku. Oya, aku sudah 17 tahun jadi punya KTP. Kau bisa main ke rumah,”
“ Nomor handphone?”
“ Hape ku baru saja hilang. Maaf ya…see you….” Karin beranjak
“ Karin…” panggilan Naura membuat langkah Karin terhenti, “ kau bahkan lupa mengucapkan salam,”
Karin tersenyum getir. Lalu pergi. Maaf kan aku….
***
Siang yang panas. Dua siswi mengenakan rok abu-abu, duduk bersisian di bangku taman kota. Yang satu mengenakan jilbab panjang, sedangkan satu lainnya, ahh…melihat bet di bajunya saja, orang tahu itu seragam sekolah non muslim ternama di negeri ini.
“ Kenapa… Kenapa hanya diam?” mata Karin berkaca-kaca melihat sahabat disampingnya terisak. Salahkah? Salahkah dia mengatakan kepada Naura bahwa saat ini, dirinya tak lagi sama dengan diri Naura. Naura yang Muslim, dan dia yang…ahh, dia tak sanggup mengatakannya. Ini… ini yang dia takutkan. Sahabatnya tak menerima semua ini. Itu artinya, dia akan kehilangan semuanya. Belum cukupkah hukuman yang ia terima?
“ Kenapa…Kenapa kau mengambil jalan yang dimurkai Allah. Kenapa begitu mudahnya mengambil keputusan sejauh itu? Dimana Allah saat itu, Karin? Tak adakah Ia di hatimu?” Naura terisak.
Karin menggigit bibir, menatap ke langit, menghalau air mata jatuh ke pipinya. Tak bisa. Semakin ditahan, semakin keras isaknya.
“Ya. Justru aku yang ingin bertanya, dimana Allah? Dimana Dia saat Adikku sakit parah dan butuh perawatan cepat sedangkan orang tuaku sudah habis uang untuk membiayainya Selama ini?? Dimana Allah saat Ayah dan ibuku terlibat hutang yang besar dan membuat kami harus diusir dari rumah?? Aku yang harus kerja serabutan Kau tentu tau, dari dulu orang tuaku tak pernah menganggapku ada bersama mereka. aku bahkan lupa kapan terakhir merasakan kasih sayang mereka. Aku dianggap ada hanya jika mereka membutuhkanku. Dimana Allah saat kondisiku seperti itu, Naura. Dimana??” protesnya dengan nada tinggi,
“Dan yang paling menyakitkan adalah, dengan teganya menjualku kepada teman mereka yang jelas-jelas berbeda agama. Sakit…sakit sekali…Dimana Dia saat kondisiku benar-benar terjepit? Atau memang ini sudah takdir yang ditentukan Tuhan…”
“ Tidak,” sahut Naura, “jangan pernah salahkan takdir. Hidup adalah soal pilihan. Apakah jalan ketakwaan, atau justru jalan kekufuran. Allah tidak pernah meninggalkan kita, tidak pernah menjauhi kita. Sekalipun Dia mengatakan, Dia mengilhamkan jalan keburukan atau jalan kebaikan, tetap saja dia mengiring kita kepada kebaikan itu. Meski dengan cara yang tidak kita harapkan, meski dengan musibah yang betubi-tubi,” lanjutnya, “ Hanya terkadang, kita sendiri lah yang melenceng dari jalan kebaikan itu. Kita sendiri lah yang menjauh dari Allah, berlari meninggalkannya, padahal Dia, sangat dekat,” Naura berkata seperti itu, karena sungguh…sungguh dia yakin sahabatnya tak pernah menginginkan hal ini, karena dia yakin sahabatnya tak nyaman dengan agama barunya dan rindu keindahan Islam.
Karin menatap sahabatnya yang sedang menatap langit,
“ Kau tau, Karin? Saat terjepitmu itu, saat kau hampir saja putus asa ketika itu, saat kau benar-benar pasrah, saat kau merasa tak ada lagi yang bisa membantumu selain orang tua asuhmu saat ini, mungkin saja saat itu Allah hendak menurunkan bala bantuannya, kalau saja kau tak gegabah dalam mengambil keputusan, kalau saja kau bisa bersabar sedikit lebih lama,”
Naura menghapus air matanya, menoleh kea rah Karin yang sedang menunduk, “ tapi itu pilihanmu, kamu yang menjalaninya, sedangkan aku…aku tak berhak untuk memaksa,” ia berdiri lalu pergi meninggalkan Karin.
“ Ra, kau sudah tak menganggapku sebagai sahabatmu lagi, paling tidak seorang teman,” panggilan Karin menghentikan langkah Naura.
Naura menoleh, “ kau tetap sahabatku. Tapi apa kau tak ingin persahabatan kita kelak sampai ke syurga?” ia tersenyum dan melanjutkan langkah. Aku bahkan ingin kita bersaudara dengan persaudaraan fitrah.
Dan pesaudaraan seperti ini, hanya bila kita sesame muslim. Maka kembalilah, Karin…kembalilah kepada fitrah. Kembalilah Dengan kerinduan-kerinduan yang pernah kita rangkai bersama saudara-saudara muslim lainnya. Robbi…Kau yang memiliki hidayah itu.
***
Malam merangkak naik, menampakkan tanda-tanda sunyi yang syahdu. Suara-suara binatang malam tak mengusik kesyahduan, justru membuat simpony alam yang menggetarkan.
Di sepertiga malam itu, Karin bersujud dalam tahajud yang panjang. Menangis dalam-dalam. Memohon ampun atas kekufurannya sejak enam bulan lalu. Dan hari ini, dia kembali muslim. Disaksikan oleh Imam Masjid Al Mujahidin dan beberapa jama’ah masjid. Mukenanya basah oleh air mata yang tak kunjung henti. Isaknya begitu menggetarkan. Rabbi…izinkan hamba kembali merasakan indahnya Islam mulai hari ini. Rabbi…Ampuni hamba yang terlalu berburuk sangka menerima keputusanmu, sehingga jalan yang Kau murka yang ku tempuh. Robbi…
Jikalah hamba mati, matikan hamba dalam keadaan muslim. Yaa muqollibal quluub…Tsabbit quluubana ‘alaa diinik wa thoo’atik.
“ Tuhan…Karin! Apa yang kau lakukan?! Cepat bangun!” Orang tua Karin murka melihat anak angkatnya sedang bersujud dengan mukena yang dipakainya, beribadah ala orang Islam.
Karin masih sujud.
Ayahnya menarik kasar tubuh Karin, “ Apa yang kau lakukan??!!” tanyanya murka.
“ Aku sedang sholat. Menyembah Allah, Tuhan ku,” Karin menjawab tenang.
Ayahnya melempar tubuh Karin ke tembok. Karin terjerembab. Dahinya terbentur. Ia meringis, meraba dahinya. Darah…
“ Kau ingat! Enam bulan lalu orang tuamu menjualmu kepada kami. Sejak itu kau bukan lagi bagian orang-orang Islam, camkan itu!” ibunya angkat bicara.
“ ya!
Tapi mulai hari ini, saksikan, aku seorang muslim!”
PLAKK!!
“ Argghh…” tamparan keras ayahnya mendarat di pipi Karin. Karin mengaduh. Ia tak pernah menyangka ayahnya begitu kasar.
“ Buka pakaian sholatmu!” ibunya menarik kasar mukena Karin. Alangkah terkejutnya mereka, ternyata Karin memakai pakaian ala orang-orang muslim itu.
Karin memegangi jilbabnya.
“ Kau bahkan memakai pakaian orang-orang Arab itu!” ibunya merampas jilbab yang dipakai Karin. Terlepas. Bahkan leher Karin tergores peniti. Sakit, tapi tak seberapa dibanding sakitnya jilbab dirampas. Ia mengedarkan pandangannya. Mengambil kain sarung di atas tempat tidurnya lalu menutup kepalanya dengan kain sarung tersebut.
“ Anak keras kepala! Ikut aku!!” ayahnya menarik tangan Karin ke luar kamar.
Karin meronta. Sementara tangan yang kanannya memegangi kain sarung yang menutup kepalanya, “ Lepaskan aku!
Aku sudah besar, sudah bisa menentukan pilihan sendiri. Kalian tak berhak atasku!”
“ Diam kamu!” gertak ibunya.
Adzan subuh terdengar. Karin ingin sholat. Karin ingin sholat.
“ Kita bawa saja dia ke Gereja,”
Karin tersentak. Dia menggeleng. Dia bersumpah, dia gak mau ke tempat itu lagi!
Ayah-ibu menyeret kasar Karin ke luar rumah. Ayah mengeluarkan mobil dari bagasi, ibu yang memegangi Karin. Tenaga ibu tak sekuat tenaga Karin.
“ Maafkan Karin, Bu,” ia mendorong tubuh ibunya. Berlari keluar gerbang. Bersyukur gerbang tidak dikunci.
“ Karin! Jangan kabur kamu! Ayah, dia kabur!”
“ Karin! Kamu gak akan bisa kabur!!”
Karin tak peduli. Ia berlari entah kemana tujuannya. Darah di wajahnya belum berhenti mengucur bercampur dengan air mata sedih, panik, takut, sementara sesekali ia meringis kesakitan akibat luka di leher yang tergores peniti. Tangan kanannya memegangi kain yang menutup kepalanya.
Matahari sudah menyembul dari arah timur. Dia tak menyadari telah berlari sangat cepat, mungkin belum pernah ia berlari secepat ini sebelumnya. Entah sudah berapa jauh dia berlari.
Berapa jam dia berlari. Dadanya sesak, nafasnya tersengal. Keringat, darah, air mata menjadi satu. Rasanya dia sudah tak kuat. Allah…Karin rela…Karin rela hidup menderita, Karin rela jika harus mati asal tetap dalam keimanan kepada-Mu, asal Karin bisa bertemu dengan-Mu, Karin rela disiksa seperti ini, asal ini dapat menebus kesalahan Karin di masa lalu, asal siksaMu tak menghampiri Karin di akhirat kelak.
Tubuh Karin terhuyung. Samar ia melihat sebuah bangunan kecil berkubah. Sebuah bangunan, pertama kali ia merasakan indah hidayahNya. Lalu, semua gelap…
***
Karin perlahan membuka mata. Dimana dia? Adakah ayah-ibu nya berhasil menangkapnya dan membawanya ke gereja?
“ Alhamdulillah…Kamu sudah sadar, Karin,”
Suara itu? Karin sangat mengenalnya. Samar ia lihat beberapa akhwat mengerubunginya.
Wajah-wajah khas penuh senyum keramahan yang dulu membuat Karin jatuh hati dengan Dakwah Sekolah. Ada Naura disana.
Karin mencoba duduk. Mereka membantunya. Dilihatnya satu per satu wajah yang dia kenal. Teman-teman ROHIS nya.
“ Karin…” Naura memeluk Karin. Tangisnya pecah dipelukan Karin. Tangis yang Karin tak mengerti. Terlebih ketika ia melihat teman-teman akhwat yang lain menunduk haru.
“ Anak-anak ROHIS sedang MABIT,” cerita Naura, “aku melihat ada orang tergeletak di depan gerbang. Ternyata itu kamu. Aku tak tahu apa yang terjadi denganmu, Karin. Wajahmu penuh luka. Tapi ketika ku lihat gamis yang kau pakai, kain sarung yang menutup kepalamu aku tahu apa yang terjadi denganmu. Kau tampak menderita, Karin,” Naura menjelaskan.
Karin menunduk. Menceritakan semua yang dialaminya dengan nada getir.
“ Seperti yang dulu pernah kita pelajari sama-sama di masjid ini. Islam satu-satunya jalan hidup untuk bahagia. Sekilas tampak aku begitu menderita. Tapi jauh…jauh di lubuk hatiku, aku sangat bahagia dengan keislamanku, aku sangat bahagia berkumpul kembali disini,”
“ Saat itu, yang ku bayangkan adalah…bagaimana dulu Sumayyah binti Khayyath mempertahankan islamnya. Bagaimana Bilal bin Rabah bertahan di bawah terik panas matahari, dicambuk, ditindih batu. Mush’ab bin Umair yang harus menanggalkan kemewahan keluarganya, Salman Al Farisi yang mengembara jauh dari kampungnya untuk mencari kebenaran sungguh..penderitaanku yang saat ini kalian saksikan sama sekali tak ada apa-apanya dibandingkan mereka,” kata-kata Karin membuat teman-temannya menunduk menyembunyikan air mata..
Naura mengangguk, “kamu masih lelah. Istirahatlah… kami mau bersih-bersih masjid dulu,” ia berdiri.
Saat yang lain kerja bakti, Karin membantu semampunya. “ Terima kasih sudah menerimaku kembali. Aku rindu suasana seperti ini. Berpeluk erat saling menguatkan dan mengingatkan. Kerinduan-kerinduan seperti inilah yang menjadi salah satu alasanku untuk kembali,” lirih ia berucap. Robb…aku tak tahu apa yang kan terjadi nanti.
Tapi, Meski tetes air mata, tetesan keringat, bahkan tetesan darah harus keluar untuk mempertahankan islam ku. Aku tak peduli. Aku Muslim. Selamanya Muslim
Sayup terdengar suara nasyid yang diputar.
"Andai matahari di tangan kanan ku, takkan sanggup mengubah yakinku,
Terpatri dan takkan terbeli…dalam lubuk hati
Bilakah rembulan di tangan kiri ku, takkan sanggup mengganti iman ku
Jiwa dan raga ini, apapun adanya…
Andaikan seribu siksaan…terus melambaik-lambaikan derita yang mendalam
Seujung rambutpun aku takkan bimbang…jalan ini yang ku tempuh
Bilakan ajal kan menjelang, jemput rindu-rindu syahid yang penuh kenikmatan.
Cintaku hanya untukMu, tetapkan muslim ku selalu…
"
(Shaffix : Keimanan)
Cirendeu, 14 Juli 2012
Sepertiga Malam yang syahdu