.

.

Muhammad : 7

Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik [Al-Imran : 110]

As-Shof : 4

Sesungguhnya Allah menyukai orang yang berperang dijalan-Nya dalam barisan yang teratur seakan-akan mereka seperti suatu bangunan yang tersusun kokoh.[As-Shof : 4]

Bergerak atau Tergantikan

“Teruslah bergerak, hingga kelelahan itu lelah mengikutimu.Teruslah berlari, hingga kebosanan itu bosan mengejarmu.Teruslah berjalan, hingga keletihan itu letih bersamamu.Teruslah bertahan, hingga kefuturan itu futur menyertaimu.Tetaplah berjaga, hingga kelesuan itu lesu menemanimu.”

Hidup Mulia atau Mati Syahid

Ketika Kau Lahir di Dunia dengan Tangisan, Dunia Gembira Riang Menyambutmu. Ketika Kau Gugur sebagai Pahlawan, Dunia Mengangisimu, Namun Ruhmu gembira menyambut Syurga-Nya

Kita adalah Penyeru

Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik [Al-Imran : 110]

Selasa, 15 Mei 2012

Diantara dua Ukhuwah Singgasana; Realita Cinta dan Duka diantara KAPMI dan GARDA'10 (Persembahan Untuk KAPMI di MILAD ke 13)

Malam kian pekat, hujan mulai membasahi pekarangan kami. Temaram kian menyunyikan malamku yang satu ini. Matari telah bersemayam dalam tidurnya yang panjang, angin pun tiada berhembus menyejukkan jiwa-jiwa setiap insan. Yogya seakan sepi dari kerumunan orang-orang.  Ragaku, raga ini kian lemah setelah bertemu dengan tiga mata kuliah. Lesu, letih, tak kuasa ingin kubaringkan saja jiwa ini dalam tidur yang lelap. Orang-orang disekitarku masih terus mengobarkan tenaganya didepan laptop menerawang berbagai macam cakrawala. Kantuk yang telah menyerang mataku terus berkecamuk diperangi oleh semangat. Tak ubahnya aku seperti mereka, tak ubahnya menarikan jari-jemariku diatas keyboard laptop merangkai kata-kata menjadi sesuatu yang berharga bagi hidupku, mengenang kembali peristiwa hari ini yang penuh dengan makna.

  Sejenak aku mengenang berbagai macam peristiwa yang terjadi dihari ini dan dihari lalu. Entah mengapa, dalam kenangku selalu muncul wajah-wajah mereka, wajah-wajah yang telah membersamaiku dalam mengarungi kehidupan diatas tempias-tempias perjuangan. Ya, aku dibuat kalut oleh mereka, yang telah menginspirasiku menitahkan sajak-sajak pengorbanan.

  Sampai hari ini, rasa takjubku pada seluruh teman-temanku di Kesatuan Aksi Pelajar Muslim Indonesia tak pernah terlupakan. Raganya yang lelah tiada pernah terlihat merasa lemah. Pakaian putih abu-abunya yang lusuh tiada pernah membuat asanya luruh apalagi runtuh. Jiwanya tegar, matanya kian berbinar, raganya tak pernah gundah berbakti ditengah pikirannya yang resah. Ya, itulah teman-temanku, sahabat-sahabatku yang mengatasnamakan berada di “jalan dakwah”. Merekalah yang telah menjebakku kedalam jalan kebenaran ketika hati, jiwa dan ragaku berada didalam jeratan kesesatan. Jujur saja, sebelum aku mengenal mereka, aku adalah orang yang hampir saja bersentuh hidup dalam kemurkaan. Usahlah kau tahu kedekatan apa yang akan memurkakan hidupku.

  Mereka adalah orang-orang yang menghabiskan hidupnya dijalan. Di jalanan daerah Jakarta yang penuh dengan penat dan kebisingan. Mereka adalah orang-orang yang merelakan seluruh jiwa dan raganya dalam pencarian iman. Aku tahu, mereka adalah orang-orang yang penuh dengan dosa sama sepertiku, namun mereka memiliki spirit, berjuang dengan penuh keyakinan untuk menebus dosa-dosa itu dengan tetap berkorban menegakkan asmaNya, memerdekakan manusia dari lembah kejahilan akibat nafsu yang fana. Mengajak kita, kami, bahkan mereka agar tiada melerai hati nurani dan pikiran berhenti mengingat kehidupan selanjutnya setelah kehidupan kita saat ini.

  Masih terekam jelas dalam benakku, ketika seorang akhwat merelakan dirinya jalan dari Depok menuju Serpong  hanya karena ingin mengikuti agenda Daurah Marhalah KAPMI. Ketika itu, ternyata kondisinya tidaklah memiliki uang sepeserpun untuk mengantarkan dia ke tempat tujuan. Ihwal tersebut kami  -ikhwan- ketahui ketika temannya bercerita kepada kami. Sungguh, perangai akhwat yang luar biasa, teruji ketabahan jiwanya. Mungkin, ialah permata harapan itu, permata diabad 21.

  Selanjunya, peristiwa yang membuatku tercengang adalah, ternyata ada seorang ikhwan yang memberanikan diri menggoeskan sepeda ontel bututnya dari Tangerang menuju Jakarta Selatan hanya demi mengikuti agenda syuro’ rutinan KAPMI. Hal tersebut ia lakukan hampir setiap kali ada pertemuan, setiap pekan. Lelah, jauh, letih, tidak membuat raganya terhenti melangkahkan jejak kaki dalam risalah dakwahnya. Risalah dakwah pelajar ini. Risalah yang menegakkan Kalimatullah di persada Jakarta Raya, risalah suci yang tiada sungkan melawan tirani. Rasanya, banyak sekali peristiwa yang membuat mata hatiku terbuka melihat nuansa juang ini.

  Ada satu cerita lagi yang membuatku tak mampu menepiskan keharuan batinku. Peristiwa ini diperkirakan terjadi di era KAPMI sebelum angkatan 5. Ketika itu, seorang Akhwat dalam perjalanan menuju tempat syuro’ KAPMI. Ketika ia turun dari Metro Mini, tiba-tiba dirinya terlihat amatlah pucat sambil memegang perutnya yang terasa kesakitan. Namun, ia tetap melanjutkan perjalanan menuju tempat syuro’ dan mencoba menutup-nutupi kesakitan yang sedang ia alami. Ia merasakan keperihan yang sangat menyakiti tubuhnya. Tapi ia tetap teguh dalam perjalanan dakwahnya itu.
 Sesampainya di tempat Syuro’, ia mencoba menampakkan wajah senyumnya kepada teman-teman akhwat yang lain tanpa memperlihatkan raut wajah akibat rasa sakitnya itu.

  Peristiwa yang membuat batinku terkesima, tertunduk pilu adalah, ternyata ketika rapat sedang berlangsung, dirinya merasakan kesakitan yang berlebih hingga membuatnya pingsan dan langsung dibawakan ke Rumah Sakit yang terdekat oleh teman-teman KAPMI. Ketika orang tuanya telah datang ke Rumah Sakit dalam keadaan mata yang begitu lebam dan cemas, dokter memvonis bahwa anaknya mengalami gagal ginjal yang sudah kronis dan dipastikan bahwa hidupnya hanya mampu bertahan kurang dari satu minggu. Seluruh teman-teman KAPMI yang sejak tadi menunggu di depan kamar rawatnya, mendengar perihal tersebut hingga membuat sebagian mereka gemuruh penuh dengan isak tangis.

Mereka langsung menelepon teman-teman KAPMI yang lainnya menginformasikan perihal tersebut. Hampir seluruh rekan-rekan KAPMI langsung menuju kamar rawat tersebut. Suasana semakin sesak dengan tangis, suasana semakin pilu dalam kesah. Ramai dalam keharuan. Tiba-tiba, akhwat yang sakit tersebut terbangun, orang tuanya yang sejak tadi menangis tak kuasa melihat wajah sang anak. Namun, dengan keluguan akhwat tersebut, ia bertanya kepada orang tuanya perihal sakit apa yang sedang dialami dengan wajah yang memikat, menaburkan senyum ketenangan. Mendengar hal tersebut, orang tuanya semakin dibuat kalut dalam tangisan. Deraian air mata tiada padam diluapi kecemasan terhadap kondisi anaknya yang kian membara. Namun, Akwat tersebut mencoba menenangkan kedua orang tuanya dan terus merayu mereka untuk berterus terang. Hingga akhirnya, orang tuanya pun dibuat luluh oleh sang anak untuk menyampaikan apa yang terjadi pada buah hatinya tersebut.

  Suasana hening, sang anak hanya focus mendengarkan sang ibu bercerita dengan deraian air mata pilunya. Sang ibu tiada kuasa menahan diri, memeluk erat sang anak yang sudah divonis dokter itu.
Disinilah, hatiku dibuat kalut oleh sikap Akhwat tersebut. Ternyata, ketika ia usai mendengar perkara penyakitnya, Akhwat tersebut justru tersenyum lebar nan sumringah, ia hanya mampu berkata, “aku tak tahu ini berkah atau musibah, tapi aku hanya berprasangka baik pada Allah..” tuturnya. Teman-teman KAPMI hanya mampu menyaksikan keharuan didalam kamar rawatnya dari balik jendela.

  Sang akhwat tersebut, meminta teman-temannya yang diluar baik ikhwan maupun akhwat memasuki ruang rawatnya. Wajah belianya masih menampakan pesona sumringah, seakan tiada mengingat vonis dokter terhadapnya. Air matanya kian membasahi pipi, dengan suara sesaknya, sang Akhwat berwasiat kepada seluruh teman-temannya,
 “ Aku adalah pengembara yang mencari hakikat, manusia yang mencari makna kemanusiaan di tengah masyarakat, dan warga negara yang menginginkan umatnya mendapat kemuliaan, kemerdekaan, kestabilan, dan kehidupan yang baik dalam naungan Islam yang hanif..

  Aku adalah perempuan bebas yang telah mengetahui rahasia keberadaannya, kemuadian berseru, ‘Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanya untuk Allah, Tuhan semesta alam yang tiada sekutu bagiNya. Dengan itulah aku diperintah, dan aku termasuk orang-orang yang berserah diri..

  Allah jugalah yang menghendaki, bila akhirnya aku berada di dalam barisan KAPMI, yang membuatku berpindah dari satu medan kehidupan ke ruang kehidupan yang lain. Dalam lingkaran jamaah ini, aku temukan diriku dalam keadaan tersadar di atas sebuah hakikat yang hidup di dalam sanubari. Aku temukan diri ini sebagai manusia yang terakhir kembali..

  Pikiran-pikiranku tentang kehidupan dan manusia yang ada di sekelilingku mulai berubah. Aku pun dapat memahami bahwa sesungguhnya, kehidupan ini adalah risalah dan seluruh manusia adalah saudaraku. Mereka adalah lahan tempatku berdakwah, dan mereka juga adalah aset-aset Islam..

  Semangat persaudaraan yang tulus dalam jamaah ini menarik jiwaku ke dalam ruang hati-hati yang memancarkan semangat, kesungguhan, dan perasaan yang nikmat darinya, sehingga mengalir dalam diriku mata air kehidupan yang membangkitkan jiwa dan asa; membakar emosi yang selama ini tenang di dasar jiwa. Emosi yang dingin, diam diliputi oleh kebekuan dan kemalasan, serta ketidakmampuan menampakkan diri karena terbelenggu oleh tradisi dan kebiasaan-kebiasaan yang tidak bersumber dari ajaran Islam..

  Allah memberikan karunia ini dalam perkumpulanku dengan kalian, dengan insan-insan yang tiada pernah luput mengarungi sajak hidupnya dengan pengorbanan. Aku yakin, ukhuwah itu, ukhuwah yang dilandaskan iman tiada pernah terputus meski tiadakan lagi kita bertemu..

  Ayo kawan, usahlah kalian menangis lagi, bergegaslah bergerak dan bersiap siaga. Tugas kita dibumi ini masih banyak, masih bertumpah ruah haling rintang yang menyambangi jejak hidup kita..
Aku, hanya memohon, kalian doakanku dalam waktu. Tetaplah kita menjaga Izzah ini, menjaga Izzah juang yang dalam membela Agama yang suci ini..

  Kenangan ini, kenanganku bersama kalin menjadi sebuah arungan cinta yang tiada mungkin aku lupakan…”
Gemuruh tangis mengharui seisi ruangan tersebut, para akhwat saling memeluknya, merangkul tubuhnya erat-erat, seakan tak kuasa menyakini semua ini. Tangis, pilu, menjadi satu. Para ikhwan pun ikut terpilukan dalam nuansa tersebut dibalik tirai kamar rawat. Sang akhwat hanya mampu memberikan senyum manisnya seperti sedia kala.

“..Selamat tinggal sahabatku
Ku kan pergi berjuang
Menegakkan cahaya Islam
Jauh di negeri Seberang..

Selamat tinggal sahabatku
Ikhlaskanlah diriku
Iiringkanlah doa restumu
Alloh bersama slalu..

Kuberjanji dalam hati
Untuk segera kembali
Menjayakan negeri ini
Dengan ridho Ilahi..

Kalaupun tak lagi jumpa
Usahlah kau berduka
Semoga tunai cita - cita
Raih gelar syuhada..”

  Dengan nada yang lirih, penuh dengan sayup suara yang begitu parau, para ikhwan merenungkan lagu tersebut yang acap kali menjadi sebuah momentum semangat perjuangan mereka. Dengan nada yang begitu lirih, senandung yang mengheningkan suasana, tak kuasa seluruh orang yang berada dalam ruangan tersebut matanya kian lebam berkaca-kaca, para akhwat kian tak mampu menahan rasa kepedihan ini hingga diantara mereka tiada mampu menyeka tangis yang mengharu membasahi wajahnya. Begitu pun para ikhwan, yang tiada mampu menahan isak dukanya yang kian menitihkan air mata kesatriaan.

  ***

            Itulah nuansa ukhuwah, yang begitu mengharu biru dalam jiwa dan raga, hingga pada akhirnya kita terjerembab dalam nuansa kebersamaan. Melawan segala onak dan duri rintangan, menghembuskan hati dengan cinta yang membahana terhadap sesamanya. Ya, tiadalah ukhuwah tanpa diawali perjuangan atas nama Akidah kepada Robbnya. Sebuah petualang cinta yang begitu indah untuk dikenang, menjadi noktah suci dalam persaudaraan.
Kini,  berbagai rangkaian ukhuwah itu telah aku temukan kembali. Kini, aku temui semua itu diwajah-wajah yang baru satu setengah tahun aku kenali. Ya, mereka adalah keluarga baruku, keluarga yang selama ini aku buat susah oleh segala onak dan congkakku.

  Merekalah teman-temanku di GARDA’10, sebuah perkumpulan segelintir pemuda dan pemudi congkak yang dihuni oleh aku, Dzikry Asyakarullah, Mohammed Hasan Izuddin, Irfan Islami, Anggit Adi Wijaya, Aries Setiawan, Asma Azizah, Inong Malasari, Imroatul Mukhlishoh, dan Hanna Mar’atul Husna. Perkumpulan ini didirikan atas dasar kenangan dalam pengorbanan. Ikrar akan persaudaraan, cinta akan keadilan, rindu akan peradaban yang hakiki.

  Ketika itu, disinggasana itu, singgasana Gadjah Mada kami berkumpul,  sore-sore dengan matari yang kian menurunkan tubuhnya kepermukaan, ketika burung-burung berkicau, beterbangan di awan seakan mencari sangkarnya di hutan fakultas kehutanan yang tepat berada di singgasana itu. Awan kian pekat keemasan menjadikan suasana bertabur keharmonisan. Kami berbagi cerita tentang risalah juang kami masing-masing. Berbagi kisah kesah terhadap hakikat perjuangan yang telah mendamparkan kami dalam pencarian makna hakikat kehidupan ini. Mengejawantahkan segala keinginan hingga akhirnya membuat kami bisa berkenalan, berkumpul, bersatu padu karena risalah cinta ini, risalah suci Illahi Robbi.

  Kami memanjatkan asa, membangkitkan kembali semangat cita, berikrar untuk mempererat ukhuwah kami hingga akhir hayat ini. Menancapkan semangat dan raga untuk tiada pernah berhenti berjuang hingga kematian itu sendiri yang akan mengakhiri jejak juang kami di dunia ini.

  Hingga akhirnya, kami memutuskan untuk sama-sama saling bersatu padu, bersama-sama mengarungi sajak cinta Illahi ini dengan membentuk sebuah perkumpulan untuk kami. Ya, ialah GARDA’10. GARDA’10 bisa diartikan Gerakan Dakwah 2010, ataupun Gerakan Pemuda 2010. Kami mengambil angka 2010 karena keseluruhan dari kami adalah angkatan 2010 Universitas Gadjah Mada. Kami pun berasal dari berbagai macam lembaga dan berbagai macam Fakultas. Aku sendiri, berasal dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik.

  Kami adalah orang-orang yang biasa saja. Orang-orang yang tidak memiliki kuasa apa-apa. Kami juga hanya orang-orang lemah yang penuh salah dan dosa. Kehadiran komunitas ini pun terlahir sebagai sebuah generasi cadangan, generasi yang berikrar dan disiapkan untuk selalu siap siaga berjuang dan berkorban, mengerahkan seluruh jiwa dan raganya dikala semua orang tiada lagi mau berjuang.

  Kami sadar, kami adalah manusia yang penuh dengan dosa, manusia yang tiada pernah lepas dari kungkungan nafsu, manusia yang tiada pernah jauh dari jurang kefanaan. Tapi kami berikrar, untuk memperbaiki semua kekurangan ini sekaligus mengorbankan jiwa dan raga ini untuk tiada berhenti menapak jejak menebarkan risalah cinta ini, sebagai pembuktian cinta kami pada-Nya.

  Kami berikrar ketika suatu saat kami ditimpa perkara ada dan tiadanya uang, ada dan tiadanya kendaraan, bahkan hingga ada dan tiadanya keadaan, tiada ingin semua itu melunturkan semangat kami, semangat yang dibangkitkan atas dasar kesadaran ketika zaman mulai menidak-sadarkan manusia yang sedang terjajah. Berasas keberpihakan pada kebenaran ketika yang lain lupa bahwa sesungguhnya nafsu, penjajahan nafsu, mengantarkan kita pada kesesatan yang tiada mampu memisahkan antara kebenaran dan kesalahan itu sendiri.

  ***

  Hari-hari berlalu, ujian, cobaan dan rintangan tiada pernah berhenti menghadang perjalanan juang ini. Begitu banyak suka dan duka menghampiri kisah ini. Ketika Asma Azizah, terpaksa meninggalkan kami karena kepergiannya untuk melanjutkan kegiatan Student Exchange ke Korea Selatan menyebabkan raga kami dengannya semakin jauh, namun tiada lekas menjauhkan hati kami dengannya. Hingga hari ini, meski ia di Korea sekali pun, kami tetap menjaga komunikasi dengannya, tetap berbagi cerita, tetap berbagi kisah melalui media. Tetap membantu kami, menyemangati perjuangan ini meski raganya tiadalah sedang dekat di sisi kami.

  Satu persatu, aku mulai mengetahui ketangkasan dan keberanian teman-temanku di GARDA ini, ketika dalam perjalanan perjuang ini, kami mulai mengerti hakikat pengorbanan yang sesungguhnya. Hingga terkadang tiada waktu luang kami memiliki waktu untuk bersantai-santai seperti orang lain. Memaksakan diri untuk memotong waktu tidurnya ketika raga dan tubuh ini kian terasa lelah. Dalam keseharianku pun, terkadang aku dan teman-teman GARDA terpaksa harus memakai waktu malam untuk berdiskusi, untuk menemui orang hingga tengah malam karena juang ini. begitu pun yang akhwat, tak jarang mereka menyedikitkan tidurnya karena harus membantu kami menyelesaikan segala macam instrumen perjuangan kami hingga tengah malam.

  Bukan hanya malam yang terkadang menyibukkan kami, bahkan terkadang pagi hari pun, ketika banyak diantara teman kami yang tertidur lelap, ketika banyak diantara kami yang bergegas membersihkan diri, kami sudah dalam keadaan berkumpul di singgasana melakukan agenda syuro’ untuk membahas agenda juang yang harus diselesaikan hari itu jua.

  Kami mulai menggiatkan membaca buku yang tidak boleh lepas dari keseharian, menggalakkan membaca Al-Qur’an yang harus menjadi keseharian. Membaca koran untuk mencari informasi kekinian, belajar memaknai kehidupan.
Aku pun mulai melihat, teman-temanku raganya mulai mengalami perubahan. Diantara kami, ada yang matanya semakin membengkak akibat kekurangan istirahat, ada yang mulai mengalami demam akibat terpaksa harus hujan-hujanan, ada yang mengalami kepala pening, ketika diindikasi dokter, hal itu terjadi karena terlalu banyak beban pikiran.
Ya, itulah kami. Sedikitpun kami tidak bangga dengan semua ini, sedikitpun kami tidak berniat untuk bertakabbur dengan semua ini. kami hanya ingin menyeru, bahwa kini kami memiliki keinginan agar segala cita ini kan bangkit, meskipun mungkin cita ini tidak bangkit dari generasi kami. Kami hanya berharap bahwa perjuangan kami menjadikan secercah harapan kepada setiap insan yang merasa penuh dosa untuk mulai mencari hakikat cintaNya dengan penuh pengorbanan, melebihi pengorbanan kami.

  Kini, di GARDA’10, aku mulai memahami persaudaraan yang lebih baik lagi, menemukan setitik harapan baru dalam berukhuwah ketika aku terpaksa harus meninggalkan teman-teman KAPMI yang berada di Jakarta, yang selalu mengajarkanku akan hakikat cinta. Tidak jarang, diantara kami ada yang menangisi semua ini, ada yang membersamai diriku untuk beribadah bersama tengah-tengah malam, membangunkanku untuk sahur ketika subuh menjelang, ketika aku mulai mengetahui bahwa sahabatku mulai mengajarkan semua itu.

“..Biarlah fitnah dan ujian itu selalu menghampiri.. Karena sejatinya, semua itu akan menjadi bumbu penyedap kenang kami di masa yang akan datang.. Biarkanlah kami melangkah meski semua orang tidaklah melihat langkah kami.. Karena kepahlawanan itu tidaklah selamanya datang dari suatu gerak yang terlihat.. karena pahlawan yang hakiki hanyalah mengharap Ridho Illahi.. Biarkanlah kami belajar memahami, memaknai, dan mencari itu semua..”



Di tulis oleh: Fachri Aidulsyah


Yogyakarta, 7 April 2012. Di kala hati sedang merana, dikala panggilan jiwa sedang membahana untuk lekas menapaki jejak langkah ini menjadi bestari yang kian langka di permukaan bumi. Entahlah, bisakah aku seperti itu.

BIDADARI ITU TETAP BERHIJAB WALAU JADI PEMULUNG

BIDADARI ITU TETAP BERHIJAB WALAU JADI PEMULUNG

Terlihat wajah semangat yang berlumur air keringat, terliha seorang mahasiswa, namanya Ming Ming. Memakai gamis hijau, jilbab lebar dan tas ransel berwarna hitam, dia memasuki lobi Universitas Pamulang (UNPAM), Tangerang. Dia adalah mahasiswa semester 1 jurusan akuntansi. Usianya baru 17 tahun. Dan dia adalah salah satu mahasiswa TERPANDAI di kelasnya.

Saat kelas usai, dia pergi ke perpus. “Ilmu sangat penting. Dengan Ilmu saya bisa memimpin diri saya. Dengan ilmu saya bisa memimpin keluarga. Dengan ilmu saya bisa memimpin bangsa. Dan dengan ilmu saya bisa memimpin dunia.” Itu asalan Ming Ming kenapa saat istirahat dia lebih senang ke perpustakaan daripada tempat lain. (keren ya…)

Sore hari setelah kuliah usai, Ming Ming menuju salah satu sudut kampus. Di sebuah ruangan kecil, dia bersama beberapa temannya mengadakan pengajian bersama. Ini adalah kegiatan rutin mereka, yang merupakan salah satu unit kegiatan mahasiswa di UNPAM. Setelah itu, dia bergegas keluar dari komplek kampus.

Namun dia tidak naik kendaraan untuk pulang. Sambil berjalan, dia memungut dan mengumpulkan plastik bekas minuman yang dia temui di sepanjang jalan. Dia berjalan kaki sehari kurang lebih 10 km. Selama berjalan itulah, dengan menggunakan karung plastik, dia memperoleh banyak plastik untuk dia bawa pulang.
Rumah Ming Ming jauh dari kampus. Dia tinggal bersama ibu dan 6 orang adiknya yang masih kecil-kecil. Mereka tinggal di sebuah rumah sederhana yang mereka pinjam dari saudara mereka di Kecamatan Rumpin Kabupaten Bogor. Biasanya setelah berjalan hampir 10 km, untuk sampai ke rumahnya Ming Ming menumpang truk. Sopir truk yang lewat, sudah kenal denganya, sehingga mereka selalu memberi tumpangan di bak belakang. Subhanallah, setelah truk berhenti dengan tangkas dia naik ke bak belakang lewat sisi samping yang tinggi itu. (can you imagine it ?)

Ming Ming sekeluarga adalah pemulung. Dia, ibu dan adik-adiknya mengumpulkan plastik, dibersihkan kemudian dijual lagi. Dari memulung sampah inilah mereka hidup dan Ming Ming kuliah.
Ini adalah cerita nyata yang yang ditayangkan dalam berita MATAHATI di DAAI TV sore kemarin (26/5/2008). Di Trans TV juga disiarkan hari selasa kemarin, di acara KEJAMNYA DUNIA Sungguh episode yang membuat bulu kudu kita merinding dan mata kita berkaca-kaca.

Ming Ming Sari Nuryanti (Mahasiswi Universitas Pamulang) Menjadi Pemulung untuk membiayai kuliah dan melanjutkan hidupnya.

Ming Ming Sari Nuryanti, Pangilannya Muna. Ia lahir di Jakarta, 28 April 1980 sebagai putri pertama dari tujuh bersaudara pasangan Syaepudin (45) dan pujiyati (42). Syaepudin, ayahnya, adalah seorang karyawan di sebuah tempat hiburan di daerah ancol, Jakarta Utara. Setiap hari ia mengumpulkan bola bowling . Sementara ibunya Pujiyati adalah seorang ibu rumah tangga sederhana. Lisa, adiknya yang pertama, duduk dibangku kelas 3 SMU Negeri I Rumpin. Melati, adiknya yang kedua, duduk dibangku kelas 2 di SMU yang sama. Kenny, adiknya yang ketiga, duduk dibangku kelas 6 SD Sukajaya. Sementara tiga adiknya yang lain juga masih sekolah disekolah yang sama. Romadon di kelas 5, Rohani di kelas 4 dan Mia di kelas 1.

Pada tahun 1994, dengan ekonomi yang pas-pasan Muna bersama keluarganya mengotrak rumah sangat sederhana di daerah Kosambi, Cengkareng. Orang tua muna menggeluti usaha rempeyek untuk mencukupi kebutuhan keluarga yang memang hasilnya tidak menjanjikan. Disela kehidupan yang cukup prihatin, Muna, yang pada waktu itu masih berusia 4 tahun menunjukan potensi dirinya yang berbeda dengan anak-anak lainnya. Dalam usia yang sedini ini, ia memaksa orang tuanya untuk memohon kepada kepala sekolah SDN 02 Kosambi agar menerimanya sebagai murid kelas 1. Hasilnya menggembirakan, ia tidak mengalami masalah dan bahkan dapat naik ke kelas 2 dengan hasil yang memuaskan.

keluarga ming-ming Saat Muna beranjak kelas dua, yaitu tahun 1996 Muna bersama keluarga hijrah ke daerah Bogor, Rumpin. keluarga mereka membuka usaha warung makanan dengan modal yang pas-pasan. Setahun berjalan, usaha itu bangkrut. Hingga untuk bisa bertahan hidup mereka hanya mengkonsumsi bubur atau singkong. Hal itu berlanjut hingga lima tahun.
Suatu hari, ada seorang teman ayah Muna yang memberitahu bahwa gelas dan botol bekas air mineral dapat dijadikan uang . Saat itu juga serentak seluruh keluarga mengumpulkan gelas dan botol bekas air mineral. Hampir setiap hari keluarga mereka berbondong-bondong keluar sambil membawa karung dan terkadang pulang hingga jam tiga pagi. Gelas bekas yang dikumpulkannya ini dihargai delapan ribu rupiah untuk setiap kilonya. Dalam sehari Muna dapat mengumpulkan sebanyak satu karung gelas plastik bekas atau seberat satu kilo gram.

Dari usaha yang baru ini membawa sedikit angin segar bagi keluarga Muna, terlebih bagi dirinya sendiri yang memang sangat bersemangat untuk menempuh pendidikan setinggi tingginya. Dalam keadaan yang sulit sekalipun prestasi belajarnya cukup menggembirakan. Semenjak SD hingga SMU Muna selalu mendapat peringkat tiga besar. Sebelum meninggalkan bangku SMU ia pernah mendapat juara 2 lomba puisi dan ia pun masuk kedalam sepuluh besar lomba membawakan berita pada peringatan hari bahasa pada waktu itu. Pada bangku kuliah pun ia masuk dalam peringkat sepuluh besar pada universitas Pamulang jurusan akuntansi. Potensi inilah yang membakar semangatnya dan memperoleh dukungan keluarga untuk terus belajar.
Tahun ajaran 2007-2008 masih dalam keadaan cukup prihatin Muna memberanikan diri mencicipi bangku kuliah. Tekadnya bulat untuk memilih jurusan akuntansi yang dalam benaknya dapat memudahkan mencapai cita-citanya untuk dapat bekerja pada Perusahaan besar. Dengan biaya kuliah Rp. 900.000 per semester dapat dicicilnya setiap bulan sebesar Rp. 150.000. Jadi, apabila ia ingin kuliah maka ia pun harus bekerja keras siang malam.

Semangat dalam belajar dan bersabar dalam meniti jalan kehidupannya membuat muna dapat dikatakan memiliki suatu yang lebih diantara kawan sebayanya. Meskipun terkadang hanya makan sekali dalam sehari tidak membuatnya kehilangan energi dalam menuntut ilmu. Muna yang memang dikenal juga anak yang pandai bergaul dan periang ini bergabung bersama kawan-kawannya di UKM MUSLIM. Keprihatinan yang dialami keluarga Muna baru diketahui ketika kawan-kawannya berkunjung ke rumahnya. Semenjak itu, ia semakin mendapat perhatian dari pengurus UKM MUSLIM dan kawan-kawannya dengan memberinya bantuan yang memang jumlahnya belum cukup signifikan.

Ust. Harist, salah seorang Pembina MUSLIM merekomendasikan Muna untuk mendapat bantuan beasiswa melalui DPU DT. Alhamdulillah, setelah mengikuti seleksi akhirnya Muna lolos menjadi anggota program BEA MAHAKARYA DPU DT. Dalam program BEA MAHAKARYA ini selain mendapat bantuan finansial ia juga memperoleh serangkaian pendidikan dan pelatihan yang dapat menjadi bekal bagi dirinya kedepan. Muna terlihat semakin optimis mengejar cita-citanya. Selain itu pula atas usaha dan dukungan kawan-kawannya ia dapat diliput dibeberapa media cetak dan elektronik yang mudah mudahan dapat dijadikan pintu keluar bagi keprihatinan yang ia alami sekeluarga selama ini.

source
http://globalkhilafah.blogspot.com/

Iklan

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites